Afeksi

99 18 1
                                    

Pada sore hari saat atensi terurai menjadi afeksi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pada sore hari saat atensi terurai menjadi afeksi

Sekembalinya dari perjalanan singkat siang tadi, Abi kembali pada rutinitas. Menikmati pahitnya kafein yang menyapa indra pengecap sembari mengerjakan soal-soal yang menguras tenaga.

Ingatannya kembali pada Jefran. Sang kawan yang kini jadi milik orang. Benar pemuda itu mengabaikannya, memutus ikatan yang menghubungkan mereka.

Pahitnya kopi selaras dengan hatinya. Namun bayang-bayang Jefran terganti begitu saja. Membentuk kepingan ingatan yang tertuju pada Gevan. Menggeleng pelan, Abi mencoba melupakan. Tetap tak bisa hilang.

Suara berisik menyapa pendengaran, Abi bangkit memeriksa. Begitu terkejut saat objek yang memenuhi pikiran itu masuk dari balkon menuju pintu yang terbuka.

"Kamu ngapain lompat dari balkon ke kamar saya?!" Pekiknya tak habis pikir.

"Kangen."

Yang di tatap menelan liur dengan susah payah. Abi berlalu enggan menanggapi, jantungnya bertalu sejak tadi.

"Kamar lu kek ga ada kehidupan." Komentar Gevan saat mendapati suasana kamar Abi yang suram. Warna hitam mendominasi, layaknya sebuah obsesi.

"Ini warna favorit saya." Sahut Abi tak peduli.

Tanpa di persilahkan, Gevan mendudukkan diri di atas ranjang. Ujung mata Abi memerhatikan. Pemuda itu kini memakai kaos putih tanpa lengan dengan celana pendek hitam. Seolah ingin memamerkan tubuhnya yang begitu idaman.

Si empu kamar berdehem canggung, tampak belum terbiasa. Kemudian memusatkan pikiran pada soal-soal yang meminta diselesaikan.

Gevan memerhatikan pada sosok yang serius berkutat dengan kertas-kertas bajingan itu. Berinisiatif membantu, pemuda itu mendekat dengan tubuh yang mulai didudukkan berdempetan.

Ingat, di kamar Abi hanya terdapat satu kursi. Gevan dan dirinya berbagi, sedikit terasa sempit sebab tubuh bongsor Gevan yang menjepit pahanya.

"Sstt..sakit!." Abi mendesis sambil mengelus pahanya yang tertimpa badan samson. Sedikit mendorong Gevan yang nyatanya tidak bergeming seinchi pun.

Tak ingin membuat Abi penyet di tempat, Gevan mengangkat kaki ramping itu ke atas pahanya. Menyamarkan jarak keduanya, hingga kini hanya tersisa detak jantung yang berirama.

"Sini gua bantu."

Abi mendengus, menarik kakinya untuk bangkit tapi tak bisa sebab tangan Gevan bertumpu di atasnya.

"Memangnya bisa?"

Gevan melirik malas, "gini-gini gua pinter fisika ya. Mana sini soal lu biar gua kerjain."

Seolah menantang, Abi menunjuk soal tersulit yang belum terjangkau otaknya. Dia memang lemah dalam sains, tapi soal sastra tidak usah di tanya.

"Mudah." Pemuda itu mulai menggoreskan arang pensilnya menari di atas kertas. Tak ada keraguan, Gevan serius dengan kata 'mudah' yang ia lontarkan.

"Loh, rumusnya ga sesuai. Ini juga ada jalan yang terlewat. Sesuai dugaan, kamu ngerjainnya ngasal." Komentar Abi memerhatikan.

Gevan menoleh sehabis menyelesaikan satu soal. Dengan senyum lembut ia berujar, "kalo ada jalan pintas ngapain ambil jalan panjang? Sama kaya hidup, kalo ada yang gampang ngapain di persulit? Ribet kan."

Memperlihatkan coretannya pada Abi yang terlihat tidak meyakinkan, Gevan melanjutkan "kepala lu bakal sakit kalo terus terpaku sama rumus-rumus bajingan. Orang ga peduli gimana caranya lu menyelesaikan suatu persoalan, orang cuma mau tau hasil akhir yang lu dapatkan."

"Ga perlu pake rumus, logikain aja. Jawabnya pake insting, lu tembak ini trus tembak ini. Trus kalikan yang ini sama yang ini. Udah dapet, ga ribetkan? Coba lu liat kunci jawaban soalnya di belakang, bener ga?"

Dengan ragu Abi menurut, membuka lembar paling belakang dan begitu terkejut saat jawaban yang tertera sama dengan coretan di depannya. "Benar." Takjubnya.

Gevan terbahak, "tuhkan, ga percaya sih sama abang. Abang pinter dek, apalagi bikin kamu jatuh cinta. Itu abang jagonya."

Cengiran itu di sambut pukulan mematikan dari arah belakang. "Baru juga saya mau muji, kamu udah nyari gara-gara lagi."

"Sakit Dep." Sungutnya mengelus belakang kepala yang berdenyut. "Lu mau gua ajarin?"

Abi mengangguk bersemangat.

"Bukan cuma ngajarin lu soal-soal sialan ini, tapi gua juga bakal ngajarin lu cara memaknai hidup."

Tangan Gevan terulur mengacak surai legam yang terasa begitu lembut di tangannya. Dapat ia rasakan tubuh si pemilik menegang.

"Persoalan hidup ga butuh cara yang panjang buat menyelesaikan. Cuma butuh pake perasaan, tenangin hati lu, nikmati prosesnya. Tuhan kasih cobaan pun nikmati aja, ga usah lu pikirin gimana selesainya. Ngerti?"

Bak terhipnotis dengan suara serak yang memenuhi gendang telinga, Abi mengangguk kaku. Mulutnya terbuka ingin mengatakan sesuatu, namun kembali terkatup.

"Gua tau lu lagi patah hati. Tapi tolong jangan keliatan lemah, apalagi di depan cewe. Lu harus bikin dia nyesel karena udah nolak lu. Buktiin sama dia, lu masih bisa berdiri dengan atau tanpa dia di sisi lu."

"Gep.." kini suara itu bergetar. Abi bangkit, menyingkirkan jemari Gevan di surainya. Serta merta mengangkat kakinya dari paha pemuda itu.

"Kenapa?"

"Tolong, jangan kamu tunjukkan sikap kamu yang begini sama saya."

Alis Gevan terangkat, bertanya-tanya.

"Patah hati saya bukan Karina."

"Maksud lu? Karina siapa?"

"Gadis yang tempo hari menghampiri saya di warung mie ayam."

"Lalu?"

Cukup lama Abi diam, takut-takut jika pemuda di hadapannya akan luntang-lanting setelah tau jawabannya.

"Dep, gapapa. Bilang aja."

"Yang saya suka bukan Karina. Tapi pemuda yang membawanya pergi kemarin. Itu sahabat saya, Jefran namanya. Dia menjauh karena tau saya menyimpang."

Pengakuan yang butuh keberanian tingkat tinggi itu akhirnya terungkap. Rasa lega bercampur takut hinggap di hati Abi.

Dirasa Gevan tak menjawab, Abi menegaskan. "Saya ga masalah kalo kamu juga menjauh. Saya akan men-..."

Kalimat itu terpotong karena si pelaku mengambil alih, "Dep, gua rasa kita emang jodoh."




Adorasi Dama (NOMIN)✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang