Pada tengah hari di tahun berikutnya....
Darah, keringat, dan air mata adalah tiga fase yang digunakan sebagai gambaran usaha. Suatu usaha belum dapat dikatakan berhasil jika belum melewati tiga fase tersebut. Tak terkecuali Abi yang sekarang tengah berlarian dari satu fakultas ke fakultas lain.
Darah yang tadi mengalir dari siku dan lutut tak dihiraukannya hingga kini mengering, keringat sebesar biji jagung bahkan sudah berjatuhan dari dahinya, jangan lupakan matanya yang berair menahan perih karena harus berlari dengan kecepatan penuh dalam keadaan terluka.
Ini semua dilakukannya demi mengejar dosen yang terlebih dahulu pergi sebelum Abi sempat menyerahkan tugas. Dia sudah mati-matian mengerjakan laporan praktikum hingga tidak tidur selama dua hari dan sekarang bisa-bisanya laporan itu tidak sampai ke tangan dosen.
Jangan salahkan Abi, salahkan hatinya yang terlalu lunak. Disempatkannya membantu Pak satpam di pintu gerbang dan saat kembali dosen yang mengajar sudah pergi. Insiden jatuh dari tangga bahkan tak berarti apa-apa demi sebuah nilai di atas kertas kusut yang saat ini berada di tangannya.
Keberuntungan berpihak padanya saat sang dosen masih berdiri di parkiran dengan ponsel di tangan. Abi berbicara dengan sopan, menunduk dalam-dalam saat sang dosen memindai tubuhnya dari kepala hingga kaki. Tanpa di duga, laporan praktikumnya diterima. Mungkin karna kondisinya yang memprihatinkan bahkan tak sedap untuk di pandang mata.
Selepas kepergian sang dosen, kakinya terasa layu. Abi memeriksa lututnya yang berhiaskan darah kering dan debu, cukup parah-pikirnya. Mengambil posisi duduk dan meluruskan kaki, Abi mengatur napasnya yang terasa sesak.
Drrtt...drrtt...
Ponselnya di dalam saku bergetar, tandanya ada panggilan masuk. Itu Gevan yang sejak pagi tadi tak menghubunginya. Keduanya memang benar-benar sibuk akhir-akhir ini.
"Sayang..."
"Iya kenapa?" Abi menyahut dengan senyuman meski diseberang sana Gevan tak akan melihat.
"Tadi sayangku udah sarapan kan? Aku jemput ke rumah tadi sayangku udah berangkat duluan." Suara berat Gevan bagai melodi yang menenangkan hatinya. Bahkan luka tak lagi terasa perih, lapar dan dahaga lenyap begitu sosok diseberang terlihat khawatir.
Dengan sedikit ringisan Abi menjawab pelan, "Belum sarapan."
"Kenapa belum sarapan? Perut kamu itu sensitif." Suara grasak grusuk terdengar, Abi tebak Gevan dengan tergesa-gesa sedang berjalan ke arah fakultasnya.
"Tunggu disana, aku bakal datang bawa sarapan. Kamu jangan kemana-mana!" Telpon dimatikan disertai senyuman samar Abi yang tertahan.
Kakinya sepertinya tak sanggup lagi digerakkan, lantas Abi mengirim pesan singkat pada Gevan yang mengatakan dia berada di parkiran. Sayup-sayup suara langkah kaki mendekat, Abi kira itu Gevan tapi saat kepalanya mendongak dia menemukan eksistensi teman sefakultasnya yang tengah tersenyum malu-malu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Adorasi Dama (NOMIN)✔
Fiksi PenggemarAdorasi Dama (re) : Pengorbanan Cinta Kasih Medan dan kerasnya kehidupan mempertemukannya dengan sosok penuh kejutan. Abi kira ia tak pernah merasa sulit kecuali saat diam-diam memuja Jefran dalam setiap deru napasnya. Namun ketika 'sosok' itu hadir...