6. Peraturan Nomor Tiga

351 45 3
                                        

MOBIL yang dikendarai Ageng mengaspal di tengah lalu lintas jalanan perkotaan tersebut. Menjadi orang yang harus selalu siap siaga mengantar ke manapun atasannya pergi, membuat Ageng lumayan sering menjelajah jalanan maupun mengenal tempat-tempat baru, seperti ketika Bagas melangsungkan meeting di luar kantor.

Jika hari-hari biasa Ageng berkuliah dulu cenderung mengendari motor sendiri menggunakan kecepatan tinggi, maka alih-alih sekarang ia seperti merasakan sensasi santai menaiki kereta mini berkecepatan rendah yang membawanya berkeliling area kebun binatang.

Ingat poin ketiga peraturan sopir pribadi Pak Bos:

Kendarai mobil dengan kecepatan rendah. Pak Bos paling tidak suka sopirnya mengebut.

Tepat sekali untuk soal berkendara sesuai titah Bagas satu itu, Ageng harus menahan speedometer kendaraan roda empat sasis besi tersebut agar tidak merangkak melebihi angka kecepatan 60 km/ jam.

Ageng masih menyetir dengan santai sampai ia mendapati sebuah antrean panjang kendaraan-kendaraan di depan mobilnya. Otomatis gadis yang sebentar lagi menginjak usia 26 tahun itu menghentikan mobil yang dikendarainya.

"Kenapa berhenti?" tanya Bagas di jok penumpang belakang.

"Sepertinya terjadi kecelakaan di depan, Pak." Ageng memperkirakan suara sirene yang terdengar betalu-talu samar itu berasal dari mobil polisi maupun ambulans. Diliriknya Bagas dari kaca spion depan. Dapat ia lihat laki-laki berjas hitam formal itu menurunkan tablet yang sedari tadi ditekurinya.

Bagas memindai dengan mata kepalanya sendiri antrean kendaraan yang mengular di depan mobilnya. "Apa ada jalan lain?" Ia kembali bertanya selagi melepas kacamata bacanya dan menengok arloji.

"Maaf, Pak, agak sulit juga kalau mesti putar balik," tutur Ageng kala memantau mobil mereka benar-benar sudah terjebak di tengah kemacetan itu.

Bagas mendecakkan lidah pelan, lalu kembali menengok arlojinya. Menit demi menit berlalu masih dilalui dengan menunggu proses evakuasi kecelakaan lalu lintas yang usut punya usut melibatkan dua kendaraan antara mobil SUV dan truk bak terbuka. Akhirnya setelah beberapa saat, kemacetan pun perlahan mulai dapat dikondisikan dan bergerak lancar kembali.

Begitu pun Ageng yang turut memantau bos besarnya itu kembali berkutat dengan kacamata baca serta tablet kerjanya. Ageng hanya mengangkat bahu sembari mendesah dalam hati. Benarkah pebisnis itu memang selalu sibuk dan serius dengan pekerjaannya?

Wajar saja jika Bagas susah diajak bercanda, selalu menunjukkan ekspresi datar dan kaku, sepadan dengan sikapnya yang sedingin es batu. Mungkin kapan-kapan Ageng perlu menyarankannya untuk mengikuti pelatihan senam wajah.

"Maaf, saya perhatikan Pak Bagas seperti sedang bingung. Pak Bagas baik-baik aja?" Rupanya Ageng sedikit peka untuk membaca gelagat aneh Bagas yang mulai tampak tidak tenang duduk di joknya.

"Saya ada meeting lima belas menit lagi." Bagas memang tidak yakin dengan waktu yang dimiliknya sekarang akan masih mencukupkan untuk mengejar meeting bersama para koleganya.

"Oh, saya bisa menyetir lebih cepat lagi, kok, Pak," sahut Ageng bersiap menambah kecepatan. "Saya pastikan dalam waktu kurang dari lima belas menit kita akan sudah tiba di kantor."

"Jangan! Jangan ngebut!" sela Bagas kontan.

"Tapi, bagaimana kita bisa tiba tepat waktu kalau tetap di kecepatan seperti ini?" Terus terang saja Ageng mulai agak kesal mengikuti prinsip 'kecepatan rendah' Bagas itu.

Lihat, bahkan kakek-kakek pengendara motor pitung butut itu baru saja sukses menyalip mobil mewah Bagas yang tentunya dilengkapi kapasitas mesin berteknologi canggih. Benar, kan, sekarang kejadian juga apa yang diandai-andaikan Ageng tempo lalu.

SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang