PAGI-PAGI sekali Ageng pulang ke kondominium dan langsung membongkar isi lemari pakaiannya. Hampir semua pakaian dari dalam lemarinya telah berpindah ke tempat tidur. Tak henti beragam komentar mencerocos dari mulutnya selagi ia sibuk memadukan satu setelan dengan setelan lainnya.
Akhir pekan telah tiba. Cuaca cerah pagi ini seakan mendukung Ageng yang bersiap memenuhi ajakan Kara. Syukurlah, Bagas jadi berangkat ke Singapura Jumat petang kemarin. Dengar-dengar, pak bosnya itu juga membawa Irena bersamanya. Ageng rasa mereka adalah dua sejoli yang cocok. Setidaknya karakter ofensif Irena cukup dibutuhkan untuk menghadapi sikap kaku Bagas.
Kembali pada situasi Ageng sekarang, masalahnya ia tidak tahu baju mana yang kira-kira cocok ia kenakan untuk jalan-jalan bersama Kara nanti. Ageng hanya punya baju-baju lama yang pasti modelnya juga itu-itu saja.
Hei, ayolah, ini tidak seperti dirinya yang biasa. Seorang gadis tomboi yang tidak pernah mau peduli soal penampilan, tetapi kali ini dibuat kalang-kabut oleh tumpukan baju di hadapannya.
"Kamu kenapa sih, Dek, dari tadi mbak perhatikan rempong sendiri?" Kehebohan Ageng wajar saja membuat Monik berdecak-decak heran.
Ageng mengembuskan napas keras. Pantatnya lalu diempaskan begitu saja di pinggiran tempat tidur dengan bahu terbungkuk lesu. "Aku ada janji penting hari ini, Mbak, tapi aku bingung mau pakai baju apa," sahutnya cemberut.
"Tumben. Janji sama siapa memangnya?" Rasa penasaran Monik terpancing.
"Ya ... ada, deh," kelit Ageng sok rahasia. Ia segera terperanjat gugup ketika Monik memicingkan mata dan mengangkat sebelah alisnya dengan ekspresi curiga. Sesegera mungkin Ageng mengibaskan-ngibaskan kedua tangannya di depan dada sambil tertawa sumbang. "Bukan siapa-siapa kok, Mbak. Cuma teman."
"Teman apa teman?"
Monik bersedekap. Ageng tergeragap. Mata penuh menyelidik Monik membuat Ageng semakin tak berkutik.
"T-teman, Mbak. Suwer kewer-kewer, deh. Memangnya Mbak Monik pikir siapa?"
"Ya kali saja itu anak sultan yang di rumahnya punya banyak pelayan seperti dalam drama Korea Gu Jun Pyo. Biar nantinya kalau kamu menikah sama dia, kamu tidak perlu disuruh-suruh masak."
Wah-wah, sepertinya otak Monik punya mesin fotocopy yang bisa menyalin persis plek perkataan Ageng tempo lalu.
"Mbak Monik ini, ya, malah melantur ke mana-mana," dengkus Ageng.
"Lho, mbak kan juga senang kalau ternyata kamu memang sudah punya cemceman. Tengok berapa umurmu sekarang? Sudah mau 25, kan? Sudah pantas buat nikah. Paklik sama bulik pasti ikutan senang karena anak gadis mereka yang tomboinya minta ampun ini akhirnya laku." Gemas, Monik mencubit ujung hidung Ageng sampai si empunya mengerang minta dilepaskan.
"Udah, ah, Mbak Monik nggak usah gangguin aku terus. Aku lagi sibuk, tahu!" gerutu Ageng sambil mengelus-elus ujung hidungnya. Sayang sekali cubitan Monik tidak membuat hidung peseknya berubah mancung, melainkan memerah doang yang membuatnya jadi tampak seperti badut sirkus.
"Lagian kamu juga ngapain tumben-tumbenan mendadak bingung soal baju? Biasanya kalau cuma mau ketemuan sama teman-teman geng motormu itu, baju bekas dua hari lalu juga cuek-cuek saja kamu pakai lagi."
"Enak aja, gini-gini aku juga nggak sejorok itu kali, Mbak." Heran, salah makan apa, sih, Monik pagi ini sampai bawaannya resein Ageng melulu.
"Oke-oke, daripada sekarang kamu ribet-ribet pilih baju, coba dengerin mbak lagi kali ini." Monik menggeser beberapa baju, sehingga ia bisa menduduki ruang kosong di sebelah kanan Ageng. Pilihan kata-kata sedang ia siapkan untuk memulai pembicaraan yang mengubah serius air mukanya. "Ageng, kamu itu seorang muslimah. Identitas seorang muslimah itu terlihat dari cara berpakaiannya yang wajib secara sempurna menutup aurat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret
General Fiction[ON GOING] New Adult | Religi | Romantic Drama Ageng Candramaya Lintang, seorang penulis novel platform digital yang karyanya telah dibaca jutaan kali. Kehilangan ide untuk cerita terbaru, membuat Ageng menerima tawaran berlibur dari sepupunya denga...