5. Dua Sisi Gelap

359 54 7
                                    

SAYAP-SAYAP kecil itu mulai bisa mengepak. Tampak burung kecil itu pun sudah tidak sabar ingin menjajal kemampuan sayapnya terbang ke udara. Kara merentangkan kedua tangan ke atas dan melepas seekor burung yang sebelumnya ia temukan terkapar di halaman belakang rumahnya.

Masih diperhatikannya burung yang kian terbang membumbung tinggi hingga lenyap ke dalam kabut yang mengurai di langit malam itu. Lalu Kara bergumam lebih kepada dirinya sendiri, "Teruslah terbang dengan bebas. Jangan patahkan lagi sayapmu agar kamu nggak menjadi sepertiku."

Laki-laki bermata almond itu merapatkan jaket parka yang ia kenakan ketika embusan angin menyelusup masuk ke tubuhnya. Mungkin lebih baik ia segera masuk ke rumah. Bagaimanapun ia tidak mau dilanda demam lagi. Sepanjang hari ini berkat Mbok Jum yang telaten merawatnya, Kara merasa keadaannya jauh lebih baik.

Kara hendak menggerakkan kursi rodanya ketika ia mendapati sesuatu yang tidak beres. Kenapa kursi rodanya tidak mau berjalan? Rupanya ada batu yang mengganjal belakang rodanya. Kara masih kesulitan mencari cara menyingkirkan batu tersebut sampai tangan seseorang menarik kursi rodanya.

Pandangan Kara bertanya-tanya tentang siapa orang asing yang telah membantunya tersebut. "Kamu siapa?"

Ageng sedikit tergeragap mendengar lontaran pertanyaan pemuda yang baru diketahuinya sebagai penghuni rumah ini juga. "Ah-eh ... mm ... nama saya Ageng. Saya orang yang-maksud saya sopir barunya Pak Bagas."

Kara mengangguk mafhum. Jadi orang itu yang dimaksud keponakannya Pak Imron. Dari pembicaraan kakaknya dan Pak Imron yang ia dengarkan kemarin, keponakan Pak Imron memang katanya masih muda. Namun, ia baru tahu kalau sopir baru yang menggantikan pekerjaan Pak Imron itu lebih muda dari perkiraannya. Kalau dilihat-lihat dari usianya sendiri mungkin sepantaran dengan Kara.

"Makasih bantuannya," ucap Kara datar kemudian.

"Sama-sama." Nada canggung dibalaskan Ageng. Ia lalu balik bertanya, "Terus kamu sendiri siapa? Dan kalau boleh tahu, kamu ini juga siapanya yang tinggal di sini, ya?"

"KARA!"

Itu bukan suara Kara. Serentak Kara dan Ageng menoleh sumber teriakan seseorang dari arah selasar. Semburat emosi tercetak jelas di wajah Bagas yang kini sudah berdiri di tengah-tengah mereka.

Kara terkesiap mendapati seekor kucing dilemparkan Bagas di bawah kakinya. "Apa yang Kak Bagas lakukan? Kenapa sekasar itu sama Raki?"

"Kamu lihat apa yang sudah dilakukan kucingmu itu dengan berkas-berkas punyaku ini?" Tangan Bagas mengibas-mengibaskan lembaran kertas disertai sorotan matanya yang memelotot murka ke arah Kara. "Karena ulahnya itu semua pekerjaanku jadi berantakan."

"Maafin Raki, Kak. Dia juga nggak mungkin sengaja bikin rusak semua itu."

"Maaf? Pikirmu berkas-berkas penting ini bisa utuh kembali cuma dengan permintaan maaf, hah?" bentak Bagas melempar kertas-kertas itu tepat ke depan wajah Kara. "Dasar tidak berguna!"

"Tolong hentikan, Pak Bagas. Saya rasa Pak Bagas sudah keterlaluan." Ageng yang sedari tadi hanya menjadi penonton, kali ini memberanikan diri angkat bicara.

"Apa kamu dibayar di sini untuk ikut campur urusan saya?" Bentakan Bagas digilirkan kepada Ageng.

Meskipun di dalam dada Ageng rasanya ikut panas, tetapi ia masih ingat untuk sadar diri dan tempat. Segusrah-gusruhnya Ageng, ada tata krama di mana ia memang tidak mungkin bertindak di luar kapasitasnya.

"Kak, jangan marahi dia. Semua ini salahku. Aku akan lebih menjaga Raki dan aku pastikan kejadian seperti ini nggak akan terulang lagi."

Bagas mendecakkan lidah, tetapi tidak berkata apa-apa lagi. Geraman kesal dibiarkan lolos dari bibirnya sebelum pergi begitu saja.

SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang