Hening malam terpalut langit jelaga.
Bintang kemintang bergelantung, benderang bulan terjaga.
Elok rupa pantulan sinarnya menantang pelita rumah ke rumah untuk berlaga.
Derik jangkrik mengusik.
Larik-larik rumput bergemerisik.
Kelam malam tak selalu senyap.
Selagi dinamika jiwa tak tersenak renyap.
Tidak kurang dari tiga puluh menit, Kara berupaya menenangkan hati dan pikirannya di tempat terbuka itu. Selang dalam kurun waktu tersebut, tatapannya pun hanya menerawang hamparan langit yang meruak panorama terang bulan.
Kara selalu menyukai pemandangan langit malam yang seindah ini. Oleh karena itu pula Kara menyukai nama Wengi pemberian ibunya yang mengambil arti dari malam. Namun, kenapa malamnya selalu berubah sembilu setiap kali ia selesai berhadapan dengan mata Bagas?
Semua dipicu oleh kabar pemecatan Hadi Kuntoro yang telah sampai juga ke telinga Kara. Penjelasan langsung dari Bagas adalah sesuatu yang ingin didengar Kara, meskipun ia harus menerobos ruang kerja kakaknya itu. Meskipun ia harus melanggar area terlarang yang ditetapkan Bagas di rumah orang tua mereka sendiri. Meskipun ia terpaksa menyulut reaksi Bagas untuk naik pitam.
"Jadi kamu sudah kehilangan etika masuk ke ruangan orang lain tanpa izin rupanya," sindir Bagas sarkastis dari balik meja kerjanya.
"Kenapa Kak Bagas memecat Pak Hadi? Apa salah Pak Hadi?" Kara juga tidak mau berbasa-basi. Ia mencoba tidak gentar ketika menyarangkan tatapan menusuk itu kepada pemilik mata setajam elang membidik mangsanya.
Bagas menyeringai kecut. "Cepat sekali, ya, berita itu menyebar? Atau, apa orang itu sendiri yang langsung mengadu padamu?"
"Orang itu yang Kakak sebut adalah orang kepercayaan papa. Bahkan sejak papa merintis perusahaan dari bawah, Pak Hadilah orang yang paling setia menemani pasang surut bisnis papa. Tapi, kenapa sekarang Kakak malah seenaknya memecat orang yang udah puluhan tahun bekerja di perusahaan kita?"
"Seenaknya?" ulang Bagas ingin tertawa geli. Ia beranjak dari kursi putar, mengitari meja kerja, lalu ganti menyandarkan posisi setengah duduknya pada sisi luar furnitur berbahan kayu jati tersebut. Kedua tangannya terlipat di depan dada. Lirikan mencemooh ia hunuskan tepat ke arah bahu Kara yang terlihat tegang.
"Kara ... Kara ... ke mana saja kamu selama ini? Saat papa memintamu belajar manajemen bisnis, kamu sendiri yang menolak dengan alasan tidak tertarik terjun ke perusahaan. Kamu lebih memilih kuliah di jurusan yang semula ditentang papa. Tentu saja, si anak kesayangan yang apa pun keinginannya akan dituruti tanpa perlu tahu bagaimana sebaliknya aku dituntut mati-matian menyelesaikan studiku layaknya robot supaya tenagaku bisa segera diperas untuk perusahaan itu."
Kara membulatkan mata lebih kepada kalimat terakhir Bagas.
"Kenapa? Kamu tidak terima dengan istilah yang aku gunakan barusan?" Bagas sedikit menaikkan dagunya. Setoreh seringai lagi-lagi menghiasi ekspresi angkuhnya sembari kembali berkata, "Ya, orang naif sepertimu mana mungkin tahu sekejam apa papa sebenarnya memperlakukanku. Papa menyuruhku lulus pascasarjana dengan baik, itu sudah kulakukan. Tapi di perusahaan, semudahnya saja papa menempatku sebagai pegawai magang yang cuma dijadikan pesuruh staf bawahannya. Semua orang meremehkanku, kamu tahu? Begitu rendahnya aku dianggap tidak becus bekerja mendampingi papa."
"Bohong. A-aku nggak percaya ... p-papa bersikap seperti itu sama Kakak," gumam Kara dengan suara terbata-bata.
"Lalu menurutmu, siapa yang mengurus huru-hara perusahaan dari semua masalah likuiditas setelah papa meninggal? Pak Hadi yang katamu orang setia papa itu? Katakan di mana dia saat ribuan karyawan berorasi menutup akses mal karena gaji belum dibayarkan? Posisi kepemimpinan vakum, investasi tidak berjalan sampai hanya utang-utang perusahaan yang ditinggalkan papa. Kenyataannya aku, pesuruh rendahan di perusahaan papa ini yang harus memutar otak siang dan malam sampai aku bisa membuktikan kepada para direksi bahwa aku kompeten untuk berada di kursi presiden direktur." Setiap kalimat ditekankan Bagas melalui intonasi suara yang menahan gemeletuk gigi-giginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret
General Fiction[ON GOING] New Adult | Religi | Romantic Drama Ageng Candramaya Lintang, seorang penulis novel platform digital yang karyanya telah dibaca jutaan kali. Kehilangan ide untuk cerita terbaru, membuat Ageng menerima tawaran berlibur dari sepupunya denga...