JEMARI tangan Ageng tak henti saling bergerilya di tengah ketegangannya berhadap-hadapan dengan Mbok Jum. Diam-diam diliriknya Mbok Jum yang belum mengeluarkan sepatah kata semenjak mereka mengambil posisi duduk pada masing-masing ujung kursi panjang taman topiari. Merasa sebagai orang yang lebih muda, Ageng ingin bertanya duluan, alih-alih lidahnya justru seolah terikat oleh tali dan tidak mampu mengecapkan suara.
Sungguh, Ageng takut mengira-ngira maksud Mbok Jum mengajaknya berbicara empat mata seperti ini. Apa Ageng telah melakukan suatu kesalahan, sehingga setelah ini Mbok Jum akan memarahinya?
"Nak Ageng ...."
Suara rendah Mbok Jum kontan menegakkan kepala Ageng yang sedari tadi menunduk. Ageng menunggu kelanjutan ucapan Mbok Jum dengan penuh minat, kendati ada rasa waswas yang menjalar ke setiap rongga renik kulitnya. Bahkan ia merasakan bantalan kursi taman berdesain antik lagi elegan itu semakin menyerupai kaktus berduri yang tidak mengizinkan pantatnya bisa duduk dengan tenang.
"Kamu betah bekerja di sini?" Mbok Jum melayangkan pertanyaannya tepat ketika sorot mentari menyelusup celah dedaunan pohon yang menaungi tempat duduk mereka.
"I-iya, saya betah." Ageng menelan ludahnya yang terasa seret sekalipun hanya untuk menjawab pertanyaan ringan Mbok Jum.
Sesaat Mbok Jum belum memberikan tanggapannya lagi. Wanita tua bersanggul yang sehari-harinya juga terbiasa mengenakan kebaya jadul serta jarik itu sepintas membenarkan letak gagang kacamata berantainya.
Di sisi lain, jangan tanya bagaimana Ageng perlu mengondisikan debar jantungnya yang malah joget dangdutan selagi keheningan kembali meraja. Terlebih tatapan lekat Mbok Jum yang terkesan tengah menilai penampilannya itu semakin membuat Ageng ketar-ketir sendiri.
Pasalnya, Ageng tidak sempat mengenakan stagen yang selama ini membantu kegiatan penyamarannya. Ia bahkan lupa menyambar jaket saking terburu-buru pula keluar kamar mengikuti Mbok Jum. Sekarang Ageng hanya berharap kaus v-neck yang untungnya berukuran longgar itu akan mampu sedikit menyamarkan area buah dadanya.
"Ya-ya, simbok bisa lihat sendiri kalau kerjamu memang bagus. Kamu bisa tahan menghadapi Den Bagas, itu pun sudah membuktikan kamu layak diapresiasi," ujar Mbok Jum mengangguk-anggukkan kepala.
Ageng meringis sumir. "Kalau saya sih memang udah kebal sama omelannya si pak bos galak itu." Ups, refleks Ageng menepuk mulutnya yang benar-benar ramah. Ringisan yang kembali ia keluarkan lebih kepada merutuki kelepasannya yang mengatai Bagas si pak bos galak.
Namun, melenceng dari perkiraan Ageng yang siap menerima pelototan mata Mbok Jum, kikihan kecil justru lolos dari bibir bekas bersirih wanita seumuran eyang putrinya di kampung itu. "Yah, walaupun Den Bagas itu galak seperti katamu, tapi dia pantang bermain tangan. Terutama terhadap perempuan ... sepertimu."
Tawa kikuk diperdengarkan Ageng seraya menggaruk-garuk rambut kepalanya yang seingat Ageng memang belum keramasan dengan sampo anti ketombe.
Ah, baguslah kalau Bagas masih bisa membedakan tata cara antara kejam dalam perhitungan berbisnis dan bersikap lembut terhadap perempuan seperti Ageng.
Tunggu, perempuan ... apa? Tolong, Ageng mau minta diputarkan lagi kalimat terakhir Mbok Jum tadi.
"Terutama terhadap perempuan ... sepertimu."
Spontanitas saja Ageng terkesiap keras. Mulutnya yang dipenuhi deretan gigi sebesar biji mentimun dibiarkan menganga otomatis. Dua bola mata sebelok boneka beruang tak pula ketinggalan membelalak dua kali lebih lebar. Satu deduksi dari hasil merangkum perkataan Mbok Jum sebelumnya telah sampai ke satu jenis kecemasan Ageng selama ini.
Penyamarannya ketahuan!
"Mbok Jum t-tahu ... k-kalau saya itu ...." Ageng menggantung kalimatnya yang terbata-bata.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret
General Fiction[ON GOING] New Adult | Religi | Romantic Drama Ageng Candramaya Lintang, seorang penulis novel platform digital yang karyanya telah dibaca jutaan kali. Kehilangan ide untuk cerita terbaru, membuat Ageng menerima tawaran berlibur dari sepupunya denga...