10. Bagai Langit dan Bumi

256 40 4
                                    

"JADI Mbok Jum sudah tahu tentang penyamaranmu dan beliau bersedia bantuin kamu merahasiakannya?"

Memang seharusnya Monik sudah tidak terkejut lagi bahwa cepat atau lambat identitas asli Ageng akan terbongkar juga. Mungkin untuk sementara ini baru Mbok Jum yang mengetahuinya. Namun, siapa yang menebak di masa depan nanti? Sepertinya Monik juga harus bersiap menghadapi buntut panjang kenekatan Ageng, karena bagaimanapun ia gagal menghentikan sepupunya itu untuk terlibat lebih jauh ke dalam urusan keluarga atasannya.

Sekarang yang bisa dilakukan Monik hanyalah memercayakan Ageng dalam pengawasan Mbok Jum. Ia memang belum mengenal betul sosok yang disebut-sebut sebagai kepala khadimah Keluarga Wardaya itu. Akan tetapi, ia cukup bersyukur selama Ageng juga masih baik-baik saja.

"Iya, sih, tapi ya ... gitu, deh." Keluh kesah belum pupus dilontarkan Ageng. Wajahnya setia tertekuk. Bakmi surabaya yang baru separuh dimakannya hanya dipintal-pintal dengan garpu tanpa selera lagi.

"Gitu bagaimana?" tanya Monik menatap lurus Ageng.

"Kata Mbok Jum, aku juga mesti menyiapkan diri jika nanti tiba waktunya untuk mengakui siapa aku yang sebenarnya. Mbok Jum nggak akan bilang apa-apa karena suatu hari nanti cuma aku sendiri yang harus mengatakannya," sahut Ageng. Kerutan psimis semakin rapat terbentuk di keningya ketika menambahan dalam hati, termasuk mengatakan pada orang itu ... Kara.

Oh, bisakah Ageng mengukur berapa derajat temperatur pipinya yang tiba-tiba dijalari rasa panas ini?

Wengi Askara ... rupanya nama laki-laki itu tak kunjung usai mengusik pikiran Ageng sejak pembicaraannya dengan Mbok Jum pagi tadi.

Ageng harus segera sadar diri detik ini juga. Bukankah ada peribahasa, bagai langit dan bumi? Maka, seperti itu pun gambaran yang terjadi antara hubungannya dengan Kara.

Terlepas dari siapa dan apa pekerjaan Ageng sesungguhnya, di rumah itu ia hanyalah dikenal sebagai sopir pribadi. Tidak kurang, tidak lebih. Bahkan Ageng baru ingat hanya dirinya yang terlihat sok akrab dengan embel-embel menjadi teman untuk Kara, sementara Kara sendiri mungkin tidak pernah menganggapnya teman.

Baiklah, Ageng, saatnya memberi aba-aba mundur dari sekarang. Toh, setelah Mas Budi sembuh nanti, Ageng bisa kembali pada kehidupan normalnya. Ageng tidak akan bertemu Kara maupun orang-orang di rumah itu lagi. Selesai. Tamat.

"Yah, apa mau dikata. Kamu berani berbuat, maka harus berani pula bertanggung jawab."

Ucapan lugas Monik dibenarkan Ageng. Ada baiknya ia memang harus memprioritaskan urusan tanggung jawab itu. Apa pun dalihnya, perkara yang sudah dilakukan Ageng tetaplah sebuah penipuan. Ia juga merasa bersalah pada Monik. Demi ikut menutupi penyamaran ini, ia tidak memikirkan posisi Monik yang masih bekerja di perusahaan Bagas.

"Maafin aku, ya, Mbak." Ageng berbisik tanpa berani menatap Monik.

"Kenapa minta maaf?" Urung sejenak niatan Monik yang hendak membenarkan sematan bros pada pashmina bermotif bulu ekor meraknya. Sekejap ia tahu apa yang dikhawatirkan sepupunya yang malah diam seribu bahasa itu. "Kamu khawatir soal pekerjaan mbak di sini?"

Ageng mengangguk murung. "Aku takut nanti Mbak Monik jadi kena imbas gara-gara perbuatanku."

Soal pekerjaan, terus terang saja Monik sudah berencana ingin menyerahkan surat pengunduran dirinya sejak bulan lalu. Demi Egi yang sedang dalam masa pertumbuhan, Monik ingin meluangkan lebih banyak waktu berkualitas untuk buah hati pernikahannya dengan Dito tersebut.

Menjadi sosok ibu rumah tangga seutuhnya dan senantiasa mengurus keluarga kecilnya. Lagipula sejak awal menikah, Dito sama sekali tidak pernah memaksa Monik untuk ikut bekerja. Bahkan setelah kelahiran putra mereka, Dito meminta Monik supaya berhenti saja dari pekerjaannya, sehingga bisa fokus mengurus keluarga. Gaji Dito sebagai nahkoda kapal pesiar tentunya juga sudah lebih dari cukup untuk mereka, kendati tidak mampu menebus waktu yang dihabiskan berbulan-bulan di lautan.

SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang