HARI demi hari berlalu. Minggu demi minggu berganti. Tak terasa Ageng telah memasuki bulan ke tiga dirinya menjalani profesi penyamaran sebagai sopir pribadi Bagas.
Kalau boleh jujur, Ageng bahkan sudah mulai terbiasa dengan pekerjaannya. Termasuk kebal menghadapi perangai Bagas beserta sederet peraturan berkendaranya. Sekiranya dari pengalaman menjadi sopir Bagas yang dilalui Ageng selama ini dapat ia jadikan informasi penting untuk bekal Mas Budi kelak.
Omong-omong soal Mas Budi, baru saja kemarin Ageng menerima kabar perkembangan laki-laki tiga puluh tahunan itu. Mas Budi mengungkapkan fraktur klavikula yang sempat dideritanya tidak memerlukan lagi penggunaan arm sling. Dengan kata lain, Mas Budi sudah mampu menggerakkan tangannya untuk siap bekerja. Dengan kata lain pula masa-masa Ageng menggantikan Mas Budi harus segera diakhirinya.
Entah harus senang, sedih, atau takut. Senang, tentu saja Ageng ikut bersyukur mendengar kondisi terkini Mas Budi yang dapat dikatakan pulih total. Ageng juga bisa bebas menjalani kesehariannya lagi secara normal sebagaimana jauh sebelum ia mengenal orang-orang di keluarga sultan itu. Namun, ketika lawan kata senang itu sendiri tak terelakkan turut mengambil bagian, Ageng tidak tahu apakah nantinya sanggup berpisah dengan Mbok Jum, Mang Wawan, Pak Madun, dan Aswiyah yang sudah ia rasakan seperti keluarga kedua.
Lampu lalu lintas berwarna merah menghentikan mobil yang dikendarai Ageng. Mengintip dari kaca spion depan, tampak Bagas yang masih mengutak-atik gawai pintarnya di jok penumpang belakang.
Ageng mengetuk-ngetukkan ujung jarinya pada setir mobil. Kebiasaannya kala dilanda gugup dan ... takut. Ya, kalau diibaratkan sebuah diagram pai, mungkin ketakutan itulah yang saat ini menempati porsi irisan terbanyak untuk merepresentasikan grafik perasaan Ageng.
Ageng masih ragu, apakah ia dapat menentukan hari ini sebagai waktu yang tepat untuk menyingkap rahasianya sendiri di depan orang seangker Bagas?
Kunci melawan ketakutan adalah keberanian. Berani jujur sekarang juga atau hidup tidak akan tenang selamanya.
Tahan! Jangan gegabah atau siap kena mental. Bagaimana kalau Pak Bos malah akan berubah menjadi vampir penghisap darah begitu mendengar kejujuran itu?
Bisa yuk bisa. Mau terus disembunyikan pun tiada guna.
Tetap di tempat kalau masih sayang nyawa.
Lagi-lagi dua kubu suara hati Ageng saling bergulat. Kepala Ageng sampai puyeng. Oh, baiklah, biarkan Ageng memutuskan tindakan yang semestinya ia ambil.
Ya, Ageng akan jujur sekarang juga atau hidupnya menjadi jauh lebih buruk daripada didatangi vampir.
"Maaf, Pak Bagas ... saya ... mm, ada yang ingin saya bicarakan." Suara gamang Ageng merangkak bersama udara bilik mobil beraroma essential oil itu.
"Katakan saja," sahut Bagas tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar tablet.
"S-saya ... sebenarnya saya ... saya bukan keponakannya Pak Imron." Cengkeraman kesepuluh jari tangan Ageng mengerat pada setir mobil. Kedua matanya dipejamkan rapat-rapat. Lalu, lewat satu tarikan napas berikutnya, Ageng tak kepalang tanggung lagi mengungkap semua yang ingin ia beberkan. "Saya juga sudah berbohong dengan identitas yang selama ini orang-orang kira mengenai saya. Bahwa sebenarnya saya ... saya adalah seorang perempuan."
Hening. Satu detik, dua detik, Ageng tidak mendengar apa pun tanggapan Bagas. Sekejap hanya dirasakannya udara di dalam bilik mobil itu yang berembus dua kali lebih dingin. Entah kenapa bulu kuduknya juga ikut meremang. Ageng masih belum berani menoleh Bagas.
"Mm, P-Pak Bagas bisa mendengar saya?" Dengan gerakan kaku seperti robot hampir kehabisan baterai, Ageng menolehkan kepala ke belakang hingga penglihatannya sontak dikejutkan oleh Bagas yang sudah berubah menjadi ....
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret
General Fiction[ON GOING] New Adult | Religi | Romantic Drama Ageng Candramaya Lintang, seorang penulis novel platform digital yang karyanya telah dibaca jutaan kali. Kehilangan ide untuk cerita terbaru, membuat Ageng menerima tawaran berlibur dari sepupunya denga...