AGENG mengira akan lebih baik membatalkan saja kegiatan jalan-jalan bersama Kara hari ini. Namun, tampaknya Kara justru memiliki pendapat yang berkebalikan.
Laki-laki itu sudah berjanji, sehingga tidak harus menggagalkan rencana mereka. Terutama setelah ia menyimak persiapan Ageng yang telah kemas dengan baju ala koboi berkudanya.
Mendengar itu, keruan saja Ageng merasa senang sekaligus malu. Senang, karena ternyata Kara tidak mau mengecewakannya. Malu, karena mengingat hanya ia sendiri yang hebring soal berpenampilan, padahal Kara cukup mengenakan baju kasual seperti pada umumnya pergi piknik. Untung Ageng tidak sampai meminjam topi fedora Mas Dito atau ia benar-benar akan dikira model yang ingin melakukan sesi foto untuk kover majalah.
“Saya nggak berpikir demikian. Baju kamu bagus. Ayo, kita berangkat sekarang sebelum makin siang.”
Akhirnya cukup dengan perkataan kalem Kara itu mampu mengembalikan rasa percaya diri Ageng.
Mereka berangkat dengan mobil yang dikendarai Pak Ginanjar usai tangan Kara juga cukup diobati. Syukurlah, goresan lukanya tidak menembus terlalu dalam, kendati Kara memilih tak menyinggung sosok penyebab semua kekacauan itu di hadapan Mbok Jum yang sempat panik luar biasa saat memergoki tuan mudanya terluka.
Perjalanan menempuh waktu sekitar kurang lebih satu jam dari jantung Kota Semarang menuju lokasi wisata yang rupanya memasuki daerah Bandungan. MPV hitam berpenumpang tiga orang itu pun tiba pada gardu bertuliskan ‘Sambara Stable’.
Udara sejuk wilayah dataran tinggi itu menyapa gembira paru-paru Ageng yang sejenak bisa terbebas dari polutan industri perkotaan. Pemandangan serba hijau berpadu langit biru dan awan putih seperti ini membuat Ageng jadi merindukan kampung halamannya di Wonosobo. Merindukan ayahnya yang pasti sedang angon bebek. Merindukan ibunya yang pasti sedang memasak rica-rica bebek, lalu mengantarkannya ke ladang untuk dimakan bersama-sama. Bisa ditebak pasangan suami-istri juragan bebek dan bakul warung lesehan rica-rica bebek yang masih suka romantisan seperti pengantin baru itu bakal suap-suapan menu wajib makan siang mereka.
Tepat sekali Ageng dan Kara tiba di lokasi saat jam makan siang. Kara lantas mengemukakan sebuah resto di area wisata tersebut untuk mereka singgah.
“Tapi kita salat zuhur dulu, ya?” kata Kara menunjuk area musala.
“A-apa? O-oh … ya … i-iya, kita salat … dulu.” Ageng menggagap. Bahunya membentuk gestur tak enak hati.
“Kenapa?” Kara memiringkan kepalanya ketika Ageng masih terpaku di tempat.
Ageng bergidik kaget. Bibirnya refleks bergumam tidak jelas. Bakalan repot bagi Ageng kalau urusannya sudah bawa-bawa salat.
Sungguh ke mana pun Ageng melakukan safar, tak pernah sekalipun ia punya masalah dengan menunaikan perkara ibadah wajib lima waktu bagi umat Islam tersebut. Namun, tentu saja akan lain cerita di saat orang yang bersamanya sekarang bisa salah paham dengan gender Ageng.
Ya, Ageng akui ia masih belum bisa menjadi muslimah yang baik. Apalagi sekarang ia tengah memainkan kebohongan besar. Semua orang bisa tertipu, tetapi tidak kepada Tuhan yang ia sembah. Ia masih ingat dosa. Ia tidak mungkin sanggup menjadikan ibadah salat sebercanda itu.
Lalu, apa yang harus Ageng katakan pada Kara? Mana mungkin ia bisa salat di saf yang sama dengan Kara. Apakah ini pertanda saatnya ia untuk mengaku?
“Kamu mau ke toilet?” celetuk Kara.
Ageng menolehnya cepat. “Eh? A-apa? Toilet?”
Kara tersenyum singkat, seolah dapat membaca kegelisahan Ageng disebabkan menahan buang air. “Saya akan salat lebih dulu.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret
Fiction générale[ON GOING] New Adult | Religi | Romantic Drama Ageng Candramaya Lintang, seorang penulis novel platform digital yang karyanya telah dibaca jutaan kali. Kehilangan ide untuk cerita terbaru, membuat Ageng menerima tawaran berlibur dari sepupunya denga...