21. Masa Kecil

166 32 14
                                    

"SAYA minta cari ke setiap sudut. Pokoknya saya mau jepit rambut itu ditemukan."

Titah mutlak diserukan Irena di dalam kamarnya yang diwarnai kesibukan dua orang ART ketika diminta mencarikan jepit rambut bunga matahari miliknya. Irena yang berdiri membelakangi cermin meja riasnya masih menggigiti ujung-ujung kuku tangannya sembari berusaha mengingat-ingat di mana ia mungkin menjatuhkan jepit rambut itu.

Sudah lebih dari setengah jam lamanya para asisten rumah tangga tersebut menggeledah ke setiap sudut ruangan sampai ada yang rela turun ke kolong meja maupun tempat tidur. Namun, benda sekecil jepit rambut itu memang tidak mudah ditemukan di kamar putri majikan mereka yang terbilang cukup luas. Mereka tidak tahu saja jika Irena panik setengah mati hanya gara-gara jepit rambut khas anak-anak.

"Maaf, Non, kami sudah mencari di mana-mana. Tapi jepit rambut yang Non Iren maksud sepertinya memang tidak ada di kamar ini," kata salah seorang ART.

Irena berdecak. Percuma bersikeras menyuruh dua ART itu tetap mencari jika ia sendiri tidak berhasil menemukan jepit rambut kesayangannya di tempat biasa menyimpan.

"Kalian boleh pergi," sahut Irena pasrah.

Gadis yang masih tidak rela benda paling berharganya itu hilang, kini beralih mengempaskan duduk di tepian tempat tidur. Ia semakin frustrasi ketika ingatannya gagal meraba kapan terakhir kali ia masih menyimpan jepit rambut itu.

Ya, jepit rambut dengan hiasan berbentuk bunga matahari yang hanya dibuat dari bahan resin epoksi dan yang biasa diperjualbelikan oleh tukang mainan anak-anak keliling. Siapa pun tidak akan mengira bagaimana seorang fashion desaigner yang telah banyak menciptakan mode mewah seperti dirinya justru menganggap jepit rambut biasa itu jauh mempunyai arti penting. Bahkan ratusan aksesoris berlabel brand ternama sekalipun tidak mungkin bisa menggantikannya.

Sekelebat memori masa kecilnya pun seakan kembali mengumpulkan potongan-potongan adegan hingga berwujud satu kesatuan alur cerita.

Lima belas tahun lalu ....

Seorang anak berseragam SD terlihat menekuk wajahnya sambil duduk memeluk lutut di bawah pohon pinggiran lapangan upacara. Resmi bergabung di sekolah baru itu masih membuatnya sulit beradaptasi. Jangankan mendapatkan teman baru, kalau yang dilakukannya hanya suka menyendiri.

Ah, bukankah Irena memang seperti itu dari dulu. Bahkan di sekolah lamanya sekalipun ia dikenal tertutup. Apalagi di sekolah barunya sekarang yang terbilang bonafid. Irena yang tidak lupa dirinya berasal dari panti asuhan selalu dibuntuti rasa minder.

Ia memang baru saja diadopsi pasangan suami-istri kaya raya. Keluarga Adinata sangat baik padanya. Terbukti mereka menyediakan kamar pribadi yang penuh dengan mainan. Membelikan baju serta sepatu yang bagus-bagus untuknya. Bebas mau pilih makanan apa pun yang ia inginkan. Berbeda jauh dengan kehidupannya saat masih di panti asuhan. Kamar pun harus berbagi dengan anak-anak lain, mainan saling bergantian, dan berpakaian seadanya.

Keluarga Adinata juga memindahkannya ke sekolah swasta favorit yang didominasi anak-anak dari keluarga konglomerat. Namun, Irena yang dicap pemurung itu bukan sekali dua kali lagi menjadi sasaran ejekan teman-temannya sejak menjadi siswi pindahan.

Irena hendak membenamkan wajah di atas kedua lututnya ketika sebuah bola sepak menyentuh ujung sepatunya.

"Itu bolaku."

Kedatangan anak laki-laki berkisaran usia sepuluh tahunan—berarti sepantaran Irena juga—cukup membuat Irena canggung. Irena cepat-cepat berdiri dan berniat pergi. Akan tetapi, anak laki-laki itu lebih dulu menahan tangannya.

SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang