JUJUR saja Ageng masih tak mengerti kenapa atmosfer di sekitar Kara dan Topan tiba-tiba berubah mencekam. Ageng juga tidak tahu apa yang sebelumnya dibisikkan kedua laki-laki itu.
Untungnya Topan segera pergi dan suasana pun perlahan kembali normal, kendati belum menghilangkan perasaan kurang nyaman di benak Ageng. Bahkan mulutnya mendadak tak berselera menyantap makan siang lagi sepanjang kurun waktu yang hanya terkikis oleh hening.
"Maaf ...." Kara buka suara.
"Maaf untuk apa?" tanya Ageng menatap laki-laki yang justru menekurkan kepalanya itu.
Kara tidak langsung menjawab. Setidaknya butuh waktu lebih dari tiga puluh detik sampai ia memutuskan, "Kita pulang."
"Tapi kita baru aja—" Ageng mengurungkan kelanjutan kalimatnya yang lantas ia ganti dengan helaan napas lirih.
Tanpa dikatakan, ia tahu kalau Kara juga menghadapi banyak rasa canggung oleh situasi mereka saat ini. Masalah memang sudah datang sejak pagi. Dari mulai Irena hingga pertemuan dengan Topan yang membuat Kara menjadi dua kali lipat lebih pendiam.
Ingin sekali Ageng bertanya tentang apa yang sudah terjadi, baik karena Irena maupun Topan. Akan tetapi, ia ragu jika hal itu bukan ukuran kapasitasnya untuk ikut campur. Akhirnya Ageng pun hanya turut diam laksana orang asing di depan Kara.
"Apa ini karena teman saya tadi? Dia memang seperti itu orangnya. Gigih kalau udah mau mendapatkan sesuatu. Biar saya tegur dia nanti kalau kamu merasa terganggu," ujar Ageng diplomatis.
Kepala Kara menggeleng dua kali. "Bukan karena itu." Lagi, Kara menjeda demi mengangkat wajahnya yang kali ini tidak ingin menghindari kontak mata dengan Ageng. "Saya ... saya takut kamu merasa bosan jalan bersama saya."
Sekejap rona memerah di pipi Ageng serasa memiliki cerobong yang mengepulkan asap putih ke udara hanya dengan mendengar Kara sampai merasa bersalah padanya. Kalau begini, lama-lama kursi resto dudukan Ageng pun seperti bakal berubah menjadi tungku menyala yang membuatnya geliat-geliut salah tingkah.
Bungkamnya mulut Ageng membuat Kara terjangkiti perasaan salah tingkah yang sama. Benar-benar mati kutu. Kara ingin merutuki dirinya sendiri yang tampak sekali susah mesti berbicara apa lagi agar terbebas dari situasi aneh ini. Mustahil ia jadi kagok berbicara karena efek empat tahun lamanya menggembok rapat-rapat sosialisasi terhadap dunia luar. Atau perasaan ini hanya khusus pada siapa lawan komunikasinya sekarang?
"Iya, saya memang merasa bosan." Tercetusnya suara Ageng nyaris membuat wajah Kara memucat jika laki-laki itu tidak mendengar kalimat lanjutannya. "Saya merasa bosan kalau belum mengelilingi seluruh tempat ini."
Kara tercengang. Ageng menyengir lebar.
Ya, jangan sebut namanya Ageng Candramaya Lintang jika tidak tahu cara bersenang-senang. Ageng tidak akan lupa bahwa ia bisa berlibur di tempat ini berkat ajakan Kara. Di antara waktu yang ingin dihabiskan laki-laki itu, pilihannya telah jatuh pada Ageng. Sedangkan beberapa saat lalu Ageng justru mencuekinya. Jadi mulai sekarang Ageng juga akan membuat Kara tidak akan melupakan momen liburan mereka.
"Simbok semakin yakin kamulah orang yang dikirim Gusti Allah untuk Den Kara. Kamu orang yang bisa membuat Den Kara tersenyum lagi."
Seperti kata-kata Mbok Jum tempo lalu, ada Ageng Candramaya Lintang sekarang yang akan membuka sepenuhnya gembok jeruji kesepian di hati Wengi Askara supaya laki-laki itu kembali bebas menikmati dunia luar.
"Kalau nggak mendengar dari Topan, saya mungkin nggak tahu kalau kamu pemilik tempat ini," sambung Ageng sembari berdiri dari kursi dan menampilkan senyuman paling lebarnya. "Berarti sekarang saya adalah tamunya, kan? Dan tamu adalah raja. Sekarang raja punya satu permintaan. Ayo, jadi pemandu wisata saya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret
Ficção Geral[ON GOING] New Adult | Religi | Romantic Drama Ageng Candramaya Lintang, seorang penulis novel platform digital yang karyanya telah dibaca jutaan kali. Kehilangan ide untuk cerita terbaru, membuat Ageng menerima tawaran berlibur dari sepupunya denga...