11. Permintaan Profesor Lesmono

205 40 3
                                    

MEMULAI segalanya lagi dari awal tentu bukanlah sesuatu yang mudah. Akan tetapi, jika Kara tidak memulainya lagi dari sekarang, maka untuk selamanya ia hanya akan menjadi seorang pecundang.

Sudah cukup selama ini Kara terkungkung dalam jeruji tak kasamata. Menjalani empat tahun kehidupannya seperti mayat hidup yang hanya sibuk memikirkan kapan ajal akan datang menjemput.

Kara sudah berjanji akan bangkit, meskipun ia harus mengawalinya dengan susah payah merangkak.

Dan di sinilah Kara akan memulainya.

Gedung D unit rehabilitasi medik Rumah Sakit Universitas Lentera Diwangtara.

Sesuai jadwal yang diterimanya, Kara sudah bisa melakukan fisioterapinya hari ini. Sesi anamnesis, pemeriksaan fisik, hingga pemeriksaan penunjang telah diikuti Kara bersama konsulen rehabilitasi mediknya.

Seorang terapis memberikan stimulus manual melalui pijatan jaringan lunak bagian tubuh yang akan membantunya untuk lebih rileks, termasuk melancarkan sirkulasi darah serta melemaskan otot maupun sendi.

Metode alat bantu intervensi fisioterapi berupa traksi spinal yang bekerja secara mekanik juga difungsikan untuk meningkatkan mobilisasi. Kara mendengarkan orientasi yang senantiasa disampaikan terapis berbaju scrub itu mengenai tujuan pelaksanaan serta manfaat penggunaan traksi.

Kara menyelesaikan terapi fisiknya hari itu dengan cukup baik. Di luar ruangan, rupanya Profesor Lesmono lebih dulu menyambutnya seiring luapan rindu luar biasa.

Selanjutnya, ajakan Profesor Lesmono diikuti Kara dengan menjadikan kafetaria dekat taman rumah sakit itu sebagai tempat singgah menikmati waktu tea break. Mereka memilih area outdoor di mana pemandangan sungai kecil artifisial tepat mengalir di bawah decking yang mereka pijak.

Sungai kecil itu berhulu pada pancuran air bambu shishi odoshi khas Jepang sekaligus merupakan ikon nama taman yang konon mengukir sejarah cinta sang dokter jantung pendiri rumah sakit pendidikan itu bersama wanita berdarah Negeri Sakura. Ialah Taman Haruka sebagaimana diambil dari nama wanita Jepang tersebut.

Dari celah langkan kayu di samping mejanya, Kara masih mengagumi keasrian tumbuhan lotus yang terapung di permukaan sungai. Tak ketinggalan kawanan ikan koi dengan corak warni-warni khasnya saling meliuk lampai, seolah sedang bermain kejar-kejaran di bawah dedaunan lotus.

Tidak salah Profesor Lesmono memilih suasana outdoor kafetaria yang tampaknya telah mendapat sentuhan renovasi tersebut. Kara masih ingat empat tahun lalu kafetaria itu hanya dipartisi oleh jendela kaca besar ke arah Taman Haruka.

“Om senang kamu mau mengikuti fisioterapimu lagi.” Profesor Lesmono tak menutupi senyuman lebarnya.

Sebaliknya, Kara membalas dengan senyuman tipis. Pandangannya beralih pada secangkir teh kamomil yang masih mengepulkan uap. Sejenak aromanya yang menenangkan turut melingkupi penghiduan Kara dengan kehangatan.

“Tapi sayang sekali kakakmu tidak ikut datang. Sejak tiba di Semarang, om belum sempat berkunjung ke rumah kalian.”

Kali ini Kara mengangkat kepala ke arah pria berkumis chevron yang tengah menyesap tehnya. “Om udah tahu, kan, alasanku nggak mau Kak Bagas tahu soal ini?"

Profesor Lesmono mendesah sambil mengangguk-angggukan kepalanya yang kini hanya ditumbuhi sebagian rambut. “Ya-ya, om paham. Bagas harus memikul tanggung jawab berat setelah kepergian Dipta. Om salut karena dia punya dedikasi tinggi untuk terus memajukan perusahaan peninggalan ayah kalian,” gumam konsulen bedah saraf tersebut.

Pria yang juga berbalut snelli kebanggaannya itu lalu berkata lagi dengan nada gurauannya, “Yah, tapi siapa sangka kalau sebentar lagi Bagas akan menikah dengan Iren. Om pikir justru kamu dan Iren yang selama ini kelihatan dekat. Kalian teman sekelas sejak SD sampai SMA. Ke mana pun kalian selalu bersama. Beda sekali dengan Bagas yang lebih suka diam di kamar dan selalu serius belajar.”

SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang