MENELUSURI kembali penampilannya dari ujung kepala hingga ujung kaki, Ageng yakin setelan outfit yang dikenakannya tidak terlalu buruk untuk tema jalan-jalan nanti.
Celana panjang denim, cek.
Kemeja tactical motif kotak-kotak merah biru, cek.
Rompi koboi, cek.
Sementara untuk alas kaki, ia memilih sepatu combat yang sempat dibelinya untuk hiking ke Ungaran tahun lalu bersama anak-anak Flamingo.
Ageng masih menunggu Kara di dekat kolam air mancur taman topiari. Kalau dipikir-pikir, Ageng baru sadar bahwa taman ala Eropa Kuno yang memiliki konsep geometris serta identik dengan seni pangkas menyerupai beragam bentuk objek itu adalah tempat mereka pertama bertemu. Saat itu Ageng membantu Kara menyingkirkan batu yang menghalangi kursi rodanya. Begitu pun saat Ageng mengajarkan Kara membuat ayatori bintang. Lalu sekarang Ageng memilih taman topiari yang sekaligus dari tempat berdirinya dapat menjangkau sudut beranda kamar Kara.
Saat ini sebuah sensasi dalam tubuh Ageng merasa tak sabar menanti kedatangan Kara. Namun, ia juga tidak bisa mengabaikan satu bilik khusus berisi detak jantungnya yang sedang palpitasi hebat sekadar untuk membayangkan Kara sudah ada di depan matanya. Oh, ia bingung apakah harus tersenyum dulu atau tanpa basa-basi langsung say hello sambil berlambaian tangan.
Ageng mengecek lagi pesan singkat yang tadi dikirimkannya pada Kara. Seketika matanya mengerjap. Pesannya sudah dibaca hampir setengah jam lalu, tetapi sampai sekarang Kara belum juga terlihat batang hidungnya.
Apa keterlambatan Kara ada kaitannya dengan mini cooper kuning yang sempat Ageng lihat terparkir di selasar depan rumah? Ageng yakin sekali jenis mobil unik dengan warna yang cukup mencolok itu tidak pernah ada dalam bagasi Keluarga Wardaya sebelumnya.
Sayangnya Ageng juga tidak bisa bertanya pada Pak Madun. Satpam itu tidak terlihat di pos jaganya. Jadi Ageng hanya bisa menarik kesimpulan bahwa sedang ada tamu yang sekiranya datang ke rumah ini. Satu kesimpulan lagi, tidak mungkin itu tamunya Bagas kalau tuan rumah yang saat ini ada di dalam hanyalah Kara.
Ageng ragu harus tetap menunggu saja di taman topiari atau masuk untuk mencari tahu. Pintu samping dapur selalu dibuka. Sepertinya tak masalah jika Ageng masuk.
"Lho, Mas Ageng ngapain di dapur? Cari Dek As, ya? Sik-sik, bukannya Mas Ageng lagi libur, toh? Terus baju Mas Ageng itu ...." Tak sanggup meneruskan perkataannya, mulut Aswiyah hanya dibiarkan menganga lebar. Matanya tak berkedip mengamati penampilan berbeda sosok sopir muda itu. Serasa terjun bebas ke dunia anime, puncak kepalanya pun turut dihujani ratusan stiker hati merah jambu. Lalu entah dari mana terputar otomatis sebuah lagu yang sedang viral di media sosial dan sekaligus mewakili perasaanya.
Terpesona ... Dek As terpesona. Memandang ... memandang wajah Mas Ageng yang manis.
"Den Kara masih ada di dalam?"
Hujan stiker hati merah jambu seketika lenyap tersapu oleh pertanyaan itu. "Oh, jadi Mas Ageng cariin Den Kara, toh."
Ageng mengangguk tanpa menghiraukan ekspresi potek Aswiyah.
"Jangan sekarang, deh, Mas Ageng. Soalnya di dalam masih ada Mbak Iren. Dek As aja tadi sampai diusir pas lewat depan koridor kamarnya Den Kara. Padahal, kan, Dek As mau bersih-bersih kamarnya," ujar Aswiyah masam.
Kening Ageng mengerut samar. "Sebentar, Mbak Iren itu maksudnya tunangannya Pak Bagas, kan?"
"Yo sopo meneh? Lha yo moso' tunangannya Mas Ageng? Terus nanti Dek As sama siapa, dong?"
Ageng tergugu dan lagi-lagi mengabaikan Aswiyah yang kali ini tersipu-sipu genit. Pikirannya hanya tertuju pada kemunculan tak terduga Irena yang sekaligus menjawab tentang siapa pemilik mini cooper kuning itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret
General Fiction[ON GOING] New Adult | Religi | Romantic Drama Ageng Candramaya Lintang, seorang penulis novel platform digital yang karyanya telah dibaca jutaan kali. Kehilangan ide untuk cerita terbaru, membuat Ageng menerima tawaran berlibur dari sepupunya denga...