Bab 16 : Surat berdarah

30.1K 6.1K 3.2K
                                    

"Saat kepergian telah terjadi, saat itu penyesalan tidak berarti."

***

"Nona Agatha, data yang anda inginkan sudah siap."

Agatha sedang duduk di ruang kerja, milik ayahnya-Fachri De Guzman. Dan orang kepercayaan keluarganya, Moriz si serba bisa menghampirinya dengan sebuah dokumen penting di tangannya.

"Terima kasih, Moriz," ucap Agatha. Gadis itu membuka dokumen yang berisi 'sesuatu' yang penting di sana, untuk memastikan bahwa yang dia lakukan saat ini (bekerja sama dengan Miss A) itu benar atau tidak.

"Nona, sampai kapan saya harus menyembunyikan kematian Nona Aurora dari tuan Fachri?" tanya Moriz saat Agatha sedang fokus membaca dokumen di tangannya.

Kegiatan Agatha seketika berhenti, cewek itu mengangkat kepalanya menatap Moriz dengan tatapan tidak suka. Jelas pertanyaan Moriz barusan benar-benar kembali memancing amarahnya. Agatha terus terpancing saat mengingat saudara kembarnya yang mati sia-sia.

"Belum saatnya, Moriz," sahut Agatha. Matanya kembali turun membaca lembar demi lembar dokumen yang dibawa oleh Moriz tadi.

"Tapi, Nona, anda tahu sendiri jika tuan Fachri tahu kita menyembunyikan kematian Nona Aurora maka beliau akan sangat marah."

Agatha menghela napasnya kasar. "Tanpa kamu memberitahu, aku sudah tau resiko kemarahan Ayah, Moriz. Kamu pikir aku tidak takut dengan kemarahan Ayah? Dia Fachri De Guzman, semua orang takut padanya."

Moriz menatap anak perempuan yang ia rawat dari kecil itu dengan iba. Ia tahu, Agatha bukanlah kesayangan Fachri melainkan Aurora. Selama ini, Agatha diminta untuk mengawasi saudara kembarnya itu bila ia mendapat masalah karena tinggal dengan ibunya.

Agatha jadi tahu kalau setahun belakangan ini Aurora tidak lagi mendapatkan kasih sayang dari Anita, dan dia pun tidak diperlakukan dengan baik oleh pada sahabatnya.

Hingga Aurora terkena satu masalah yang menyebabkan semua kebaikannya lengkap, digantikan dengan pandangan jijik oleh seluruh penghuni SMA Matahari. Termasuk satu-satunya orang yang Aurora harap akan memandangnya berbeda ternyata gadis itu salah, Sangga-kekasihnya juga tidak percaya padanya.

Dan Agatha tahu semua itu.

"Dunia ini terlalu kejam untuk Aurora, seharusnya saya yang ikut Mama. Dan Aurora hidup nyaman dengan Ayah." Dari nada suaranya, Agatha terlihat sangat menyesal. Meskipun semua yang terjadi bukan kesalahannya.

"Lantas sampai kapan anda ingin menyamar sebagai Nona Aurora?" tanya Moriz.

"Sampai semua dendam terbalaskan, Moriz," jawab Agatha. Gadis itu mengeluarkan sejumlah foto yang ada di dalam dokumen tadi.

"Dan kerja sama anda dengan wanita itu?" tanya Moriz dengan nada ragu.

Agatha menarik seulas senyum. "Aku tidak benar-benar menjadi 'boneka'nya. Dia hanya tahu aku seorang Agatha Julia, bukan Agatha De Guzman. Di waktu yang tepat, wanita itu yang akan menjadi bonekaku.
Moriz mengangguk paham. Ia yakin, Agatha bisa menyelesaikan masalahnya sendiri karena Agatha terlatih menjadi seperti Ayahnya. "Jika Nona membutuhkan bantuan, saya siap untuk maju."

"Terima kasih, Moriz." Agatha menarik senyum tipis pada lelaki paruh baya itu, "kamu bisa pergi, saya butuh waktu untuk sendiri."

"Baik, Nona." Moriz mengangguk, lelaki itu berpamitan dari Ruang Kerja yang sangat megah dan besar itu.

Baru beberapa langkah Moriz pergi, ia menghentikan langkah kakinya. Berbalik setengah badan menatap Agatha.

"Ohiya, Nona. Tuan Zein sedang menuju ke Indonesia."

Mendengar itu, mata Agatha terbelalak. "Zein Abdullah Malik?!"

***

"Bung, coba lo tutup mata," ujar Dikta pada Buana yang duduk di sebelahnya. Buana dengan senang hati mengikuti ucapan Dikta.

"Udeh, nih. Ape lagi?" tanya Buana.

"Gelap dan kosong kan, Bung?" tanya Dikta yang dijawab anggukkan oleh Buana.

"Begitulah kondisi dompet gue saat ini, Bung. Gelap dan Kosong." Dikta kemudian menghela napas.

"Anjing gue kira apaan!" Buana kembali membuka matanya, tertawa pecah seraya meninju bahu Dikta yang sedang memasang wajah lemas.

"Sekosong-kosongnya dompet gue, gue masih happy sih." Dikta melirik ke arah Sangga yang sejak tadi hanya diam tidak bersuara, sibuk dengan pikirannya yang entah sedang memikirkan apa. "Nggak kayak Bos kita, tuh. Duit banyak, muka ganteng, rajin ibadah, cewek pada ngantri, tetep aja cemberut."

"Napa sih lo, Bos? Kusut amat tu muka, kayak keteknya Dikta," tegur Rafael yang kebetulan berada di hadapan Sangga.

"Aurora," jawab Sangga singkat. Membuat ketiga sahabatnya langsung paham mengapa cowok itu uring-uringan seharian ini.

"Elah, Bos ... masalah Aurora nonjok Clarissa tadi? Gak usah dibawa pusing lah, lagian keren kok kalau cewek bisa bela diri kayak gitu," ujar Dikta.

Buana mengangguk setuju. "Jadi, gak ada yang berani bully dia lagi. Tapi, juga Aurora kan gak salah, yak? Gak bakal ada yang berani bully lagi sih."

"Tapi, feeling gue bilang itu bukan Aurora." Pikiran Sangga terus berkecamuk, hatinya terus menolak sosok Aurora yang baru.

"Terus kalau bukan Aurora siapa dong, Bos? Kembarannya? Kan Aurora anak tunggal," ucap Buana.

Sangga hanya diam sembari menatap ke arah lain. Suasana tempat itu seketika hening, sampai tiba-tiba ada sebuah batu yang terlempar entah dari mana dan mendarat tepat di meja WABAJA tempat mereka duduk.

"WOI, SIAPA YANG LEMPAR NIH?" teriak Dikta yang refleks berdiri dari tempatnya.

"NYARI MATI LO YAK? KELUAR SINI YANG LEMPAR!" Buana ikut berdiri, matanya sibuk meneliti sekeliling mencari pelaku yang melempar batu tersebut.

"Ga, kayaknya ini surat," ujar Rafael. Sangga langsung mengambil benda itu dan membukanya. Benar saja, kertas yang membaluti batu tadi adalah sebuah surat yang dituliskan dengan tinta merah seperti darah.

Para pendosa
Akan segera menanggung Karma
-A

•Sangga•

Ciee double update🤪🤪🤪!!! Tuh walopun belum 5k komen dan vote aku bisa double update, jadi sebagai balasan kalian harus share, komen dan vote sebanyak banyaknya ya!!!

Btw lama ngga main terror nih, maksud dari surat berdarah itu apa yah🤪🤪🤪

Ada yang bisa nebak nggak, siapa kira-kira keluarga De Guzman???

5K komentar + 5k Vote untuk update😘😘😘

SanggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang