"Wanita bisa memaafkan berkali-kali untuk kesalahan sama yang dibuat oleh pria. Namun, seorang pria bahkan tidak bisa memaafkan dan akan selalu mengingat satu kesalahan yang dibuat oleh wanita."
-Aurora Slavina Tanubrata***
7 hari sebelum meninggalnya sang Ratu
"Itu pasti bukan cewek gue." Tegas Sangga, ia menjauhkan ponsel Dikta dari pandangannya. "Gue kenal siapa Aurora, dia nggak semurahan itu."
"Emang ada apaan, sih?" tanya Buana, kepo.
"Liat dong, Dik," ujar Rafael sembari mengambil alih ponsel Dikta. Buana turut melihat ke arah benda pipih itu, dan keduanya melotot bersamaan saat melihat penyebab berubahnya raut wajah Sangga saat ini.
"Demi Dewaaa!" ucap Buana refleks, cowok itu menggelengkan kepalanya. "Ini beneran Ratunya kita?"
"Kalo editan, ini mulus bener anjir," ceplos Rafael. Keduanya tidak sadar telah menyulut emosi Sangga saat mendengar gadisnya dijelekkan seperti itu.
Dikta langsung menginjak kaki Buana dan Rafael bergantian, guna menyadarkan dua cowok itu kalau ucapan mereka barusan semakin membuat Sangga naik pitam.
"Itu bukan cewek gue." Sangga bersuara dengan nada dingin, terdengar menyeramkan. "Gue bakal cari siapa yang udah berani fitnah Aurora, orang itu gak bakal hidup tenang."
"Samperin cewek lo gih, Ga. Biar gue sama yang lain urus di sini," saran Adam.
Dikta mengangguk setuju. "Iya tuh, Bos. Samperin Rora, gih. Pasti dia shock, ini parah bat."
Tanpa berbicara lagi, Sangga segera berjalan menuju ninja putihnya. Memasang helm dan menjalankan benda itu secepat mungkin menuju ke rumah Aurora.
Itu tidak mungkin kekasihnya. Sangga yakin, Aurora tidak akan mengkhianati Sangga. Ia tahu, perempuan itu sangat polos seperti kertas HVS berwarna putih.
Pasti ... pasti bukan gadisnya, bukan cantiknya, bukan Auroranya.
Kecepatan tinggi Sangga saat memacu motornya melintasi jalanan Jakarta membuat sebagian pengendara mengumpat kesal. Tidak jarang cowok itu hendak menabrak sesama pengguna jalan, akibat pikiran kalutnya.
Sangga benar-benar ingin memeluk gadisnya saat ini. Mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja, mengatakan bahwa Sangga mempercayai Aurora karena foto itu pasti hanya rekayasa dari orang yang membenci Aurora.
Ninja putih milik Sangga berhenti, tepat di depan sebuah rumah yang di sebelahnya adalah rumah Aurora. Jika kalian bertanya apa penyebab Sangga tidak berhenti tepat di depan rumah Aurora, itu karena matanya menangkap sesuatu yang benar-benar menyakitkan.
Semua pemikiran positif Sangga tentang Aurora, lenyap seketika. Tepat saat ia melihat dengan matanya sendiri, gadis yang ia cinta tengah dipeluk oleh lelaki lain.
Sangga tahu siapa lelaki itu. Dia adalah Andreas, musuh terbesarnya. Ketua geng Rajawali, sekaligus lelaki yang berada di foto tadi, bersama Aurora.
Cowok itu melepaskan helm-nya. Segera turun dari motor, kemudian menerjang Andreas yang tengah memeluk erat Aurora.
"Bangsat!!!" Sangga lepas kendali, cowok itu melayangkan tinjunya ke wajah Andreas sesaat setelah ia menduduki tubuh Andreas.
"Sangga, stop!" suara Aurora bergetar, menahan Sangga agar tidak lebih jauh menghajar Andreas.
Larangan gadis itu membuat Sangga berhenti. Ditatapnya gadis dengan wajah manis dan polos itu, Aurora nampak sedang menangis.
Sangga ingin memeluknya, ingin menghapus air matanya, ingin mengatakan semuanya baik-baik saja.
"Gue berusaha percaya sama lo, Ra. Tapi, gue udah lihat sendiri."
Namun, malah hinaan itu yang keluar dari mulutnya. Apa Sangga masih bisa berpikir positif saat ia melihat dengan mata kepalanya sendiri, kedekatan Aurora dan Andreas barusan?
"Lo sama aja kayak yang lain, Ra. Murahan." Perkataan Sangga begitu menyayat hati Aurora, seperti sudah mati lalu dibunuh lagi.
"Lo-"
"Apa?" Sangga mendongak, menampilkan wajah sengak dan menantang menatap Andreas. "Sampah dan barang bekas. Lo berdua cocok."
"Sangga, itu bukan aku! Sumpah, aku gak kayak gitu!" tangis Aurora pecah.
"Maling mana ada yang mau ngaku." Sangga tertawa miris. "Begonya gue, bisa-bisanya tiga tahun ketipu dengan semua sifat polos lo itu, Ra."
Aurora mendekati Sangga, berusaha meraih tangan cowok itu. Namun, Sangga menepisnya dengan kasar. "Jangan pegang gue, lo kotor."
"Makasih, Ra. Lo udah ngajarin gue, yang terlihat baik belum tentu baik. Kenal lama dengan seseorang, bukan jaminan kalau kita tahu orang itu luar dalam. Selama ini gue cuman kenal topeng lo, bukan diri lo." Sangga menatapnya sinis.
"Sangga, dengerin aku-"
"Udah cukup, Ra!" Cowok itu membentak Aurora hingga ia terdiam. "Apa yang gue lihat, udah cukup untuk meruntuhkan semua pikiran positif gue ke lo."
"Mulai saat ini, lo udah bukan cewek gue lagi, Ra."
Aurora seperti tersambar petir berkali-kali. Belum cukup hatinya sakit karena mendapat fitnah luar biasa, saat ini ia pun harus kehilangan satu-satunya harapan yang akan mendukung dirinya.
"Enggak, Sangga. Kamu harus dengerin aku dulu, aku-"
"GUE BILANG CUKUP, RA!" Suara Sangga meninggi, terlihat urat-urat lehernya menegang. Pertanda cowok itu benar-benar emosi.
"Lo bukan cuman ngekhianatin gue, lo juga udah ngancurin kepercayaan gue, Aurora." Sorot mata Sangga memperlihatkan bahwa cowok itu sangat terluka, namun ia berusaha menutupi dengan amarahnya.
Tidak ada lagi kata Cantik di akhir kalimat setiap Sangga berbicara dengan Aurora. Tidak ada lagi senyuman manis atau nada lembut setiap cowok itu berbicara Aurora. Semuanya berubah, hanya ada sorot kebencian dan nada kasar pada Sangga untuknya.
"Terima kasih untuk patah hati luar biasanya."
•Sangga•
Cerita ini tuh menguras emosi banget nggak, sih?!! Gemes pengen getok pala Sangga, tapi kalau jadi Sangga, kalian ngeliat pacar kalian dipeluk orang lain gimana rasanya???
Jangan lupa spam komen, share dan vote cerita Sangga biar banyak yang baca dan ikut merasakan greget kayak kalian, yah!!!
Terima kasih untuk kalian yang selalu kasih vote dan komen, semoga sehat dan bahagia selalu🤍🥰
Follow instagram : cantikazhr
KAMU SEDANG MEMBACA
Sangga
Teen FictionSangga diliputi penyesalan luar biasa saat mantan kekasihnya memutuskan untuk bunuh diri. Ia tidak pernah menganggap Aurora mati karena jenazah gadis itu belum ditemukan. Tepat dua minggu setelah kejadian bunuh diri itu, Aurora kembali, sebagai soso...