"Sulit melupakan, bukan berarti mudah menerimanya kembali."
***
"Gue kira Adam bakalan nyusul kita."
"Ngga bakalan, lah. Itu anak pasti lagi ngebucin sekarang," ucap Buana menyahuti ucapan Dikta.
"Ngebucin sama Hawa?" tanya Dikta seraya menaikkan sebelah alisnya.
Buana berdecak, kemudian menoyor pelipis Dikta. "Sama LKS-nya lah, Diktamon. Gitu aja lo ngga tau! Nih ya, gue kasi tau. LKS sama Bininya, lebih pentingan LKS buat Adam mah."
"Set dah congor lu, Bung." Rafael menggeplak bibir Buana dengan telapak tangannya.
"Paan sih lo, anjrit!" kesal Buana, hendak membalas Rafael namun cowok itu buru-buru menangkisnya.
"Yang lo omongin ada di sebelah, dodol! Sakit hati ntar," ujar Rafael seraya melirik ke arah meja samping. Tepatnya di mana Hawa dan teman-temannya duduk.
Mata Buana langsung melotot. Ia buru-buru menetralkan raut wajah keterkejutannya. Waduh, mampus! Cowok itu segera bergerak untuk mendekati meja Hawa.
"Hawa, phewittt!" ucap Buana dengan siulan di akhir katanya.
Gadis cantik dengan rambut sepunggung itu menoleh ke arah Buana dengan senyum manisnya. "Kenapa bang Bung?"
"Anu ...," Buana menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali. "Tadi ... denger, nggak?"
Hawa mengernyitkan dahinya. "Denger apa, Bang?"
"Itu ... yang LKS tadi, hehe," jelas Buana dengan nada tidak enak.
"Oalah." Hawa mengangguk paham seraya tertawa kecil, "denger, kok. Emang bener sih, lebih pentingan belajar daripada gue, Bang."
"Duh." Buana semakin bingung, cowok itu takut Hawa akan merajuk karena ucapannya. Mengadu pada Adam, dan setelah itu Adam akan menghajarnya. "Ngga kok, Wa. Lo mah penting banget, banget dah. Gue salah ngomong aja tadi."
"Santai aja, Bang. Ngga bakal gue aduin, kok. Sepele doang." Hawa mengedipkan sebelah matanya pertanda ucapannya bisa dipercaya.
"Maafin ye, Wa. Congor gue emang gitu, abis makan gorengan jadi licin," ucap Buana, menampilkan wajahnya yang merasa tidak enak.
"Udah, gak papa." Hawa tersenyum, membuat Buana menghela napas lega lalu kembali ke meja asalnya.
Kedatangan Buana mendapat ejekan tawa dari Sangga, Dikta dan Rafael. Dikta yang langsung menggaet Buana untuk duduk di sisinya, lantas memukul bahu cowok itu.
"Muke lu, Bung, Bung. Ngadepin Hawa doang, udah kayak ngadepin sepuluh musuh." Dikta tertawa puas di depan wajah Buana.
Buana menojor jidat Dikta. "Anjrit, lu, Dik. Sepuluh musuh gak ada apa-apanya sama seorang Adam. Bayangin kalau Hawa ngadu apa yang gue omongin tadi, terus Adam ngehajar gue gara-gara bikin bininya sedih. Mati muda gue, Dik!"
"Makanya, Bung. Mulut tuh dikasih rem dikit," ledek Rafael.
"Mending mulut gue menebarkan julid, daripada mulutnya si Dikta, nih!" Buana menunjuk Dikta dengan dagunya, "menebarkan janji manis."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sangga
Teen FictionSangga diliputi penyesalan luar biasa saat mantan kekasihnya memutuskan untuk bunuh diri. Ia tidak pernah menganggap Aurora mati karena jenazah gadis itu belum ditemukan. Tepat dua minggu setelah kejadian bunuh diri itu, Aurora kembali, sebagai soso...