Bab 7 : Bukan sekolah impian

334K 29.4K 6.9K
                                    

"Siswa dan siswi selalu dituntut sempurna dan guru selalu benar. Begitulah sistem sekolah menekan para muridnya." -Sangga

***

Tiga hari setelah insiden tawon

"Halo, selamat pagi warga SMA Matahari! Selamat hari Sabtu, untuk kamu yang nomor satu. Cieilah!!!"

"Walaupun SMA Matahari masih dalam keadaan berduka, karena bulan ini kita kehilangan dua orang sekaligus. Kepala Sekolah tercinta, dan teman kita Aurora. Kita doain mereka agar tenang di dunia barunya, aamiin."

Insiden tawon tiga hari yang lalu, berhasil merenggut nyawa Kepala Sekolah SMA Matahari. Setelah diselidiki, itu bukan sarang tawon biasa. Melainkan sarang tawon vespa affinis, salah satu jenis tawon yang mematikan hanya dalam sekali sengat.

Penderitanya bisa saja selamat dari satu sengatan, itupun jika segera ditangani. Namun, Kepala Sekolah mendapat sengatan berkali-kali dan membutuhkan waktu sekitar satu jam agar beliau bisa dibawa ke rumah sakit. Maka dari itu, beliau tidak dapat terselamatkan.

"Gue baru tau, tawon ternyata bisa bikin meninggal," ucap Buana. Ia dan keempat sahabatnya saat ini sedang duduk di pojokan kelas, tempat paling sejuk karena berada di bawah Air Conditioner.

"Vespa affinis, jenis tawon pemakan bangkai. Sengatannya gak mematikan kalau hanya satu," ucap Adam, si wikipedia berjalan.

"Gue liat pas dievakuasi kemaren, muka Kepsek udah bengkak banget. Pasti beliau disengat gak cuman sekali, sampe nyawanya gak ketolong," ujar Buana.

"Tapi ... aneh gak, si? Masa itu sarang tawon segede gaban tiba-tiba ada di ruangan Kepala Sekolah? Apalagi, pas petugas Damkar geledah sekolah kita dan gak ada tanda-tanda bekas sarang tawon, logika nih. Berarti itu dibawa dari luar, iya gak?" ucap Rafael yang mulai menerka-nerka.

"Logika juga nih, ye. Siapa sih yang iseng naroh itu sarang tawon di ruangan Kepsek? Terus, kok bisa gak ketahuan gitu, loh. Gimana cara bawanya coba?" tambah Dikta yang juga mulai menerka-nerka.

"Ada ular di sekolah ini pun, juga janggal. Kita perkotaan yang jauh dari lingkup tinggal ular cobra, dan di sekitar sini gak ada toko yang jual ular, kan?" ujar Sangga.

"Nah, iya bener tuh, Ga. Kayaknya ... emang udah diatur dan direncanain, deh," ucap Dikta.

"Motifnya apaan tapi?" tanya Buana, bingung.

"Kita belum bisa mastiin motif pelaku, kalau kita gak tahu siapa korban selanjutnya," sahut Adam.

"Hah? Maksud lo, masih ada korban lagi, Dam?" Dikta menampilkan raut wajah keterkejutannya.

"Pasti," jawab Adam singkat.

"Iya, bener. Pertama ada Cherleaders, kedua Kepala Sekolah. Kemungkinan habis ini bakal ada guru, ada murid yang kena," ucap Sangga. "Kita mungkin bisa nebak motif pelaku, dari daftar semua korban. Dengan cara nyari tahu, apa benang merah semua korban."

"Berasa detektif gue," ucap Rafael. "Eh, anjir. Pada nyadar gak, sih? Tahun lalu juga sekolah kita kena terror kayak gini, waktu angkatan Bang Athar."

"Apa ini bersangkutan sama terror itu, ya?"

"Bisa jadi," ujar Sangga menyahut pertanyaan Dikta.

SanggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang