Bagian 22

447 78 2
                                    

Rengekan manja seorang anak pada ibunya. Ekspresi tidak berdaya orang orang, kelaparan dimana mana. Padahal Asyla sudah banyak bekerja agar mereka tidak kelaparan. Kondisi desa tak seperti apa yang dikatakan padaku.

Petugas keamanan yang mabuk mabukan. Haruskah aku memenggal lehernya sekarang? Mereka bersenang senang diatas penderitaan rakyat.  Ah tidak sepertinya mereka harus dikebiri. Aku yakin pasti pernah terjadi pelecehan karena mereka mabuk mabukan.

Di sebelahku ada seorang wanita yang menggendong bayinya. Makhluk kecil itu tampak kelaparan. Wanita yang menggendongnya terlihat panik. Kekurangan gizi, itulah kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan penduduk desa. 

Tempat ini cukup jauh dari ibu kota Aesteler. Wajar saja Ashe, Felicia, maupun Robert melewatkannya. Aku sempat mengira ini desa yang makmur karena barang barang yang berasal dari tempat ini dijual dengan harga tinggi. 

"Tuan, belilah apel ini. Apel segar yang baru saja dipetik dari pohonnya," ucap seorang nenek nenek sambil menyodorkan sekeranjang apel padaku.

Di kejauhan aku melihat Aster menatapku sambil tersenyum miris. Inikah yang ingin dia perlihatkan? Ini memang cukup aneh, desa ini harusnya kaya dan makmur. 

"Berapa harga semuanya, nyonya?" tanyaku.

"1 koin perak" balasnya.

Aku langsung membeli sekeranjang apel tersebut dan segera mendatangi Aster.

"Sebaiknya kau perhatikan baik-baik semua ini, selagi bawahannya mengira kau sibuk ngebucin. Lihat dengan matamu sendiri semua ini," bisik Aster padaku.

Ada sebuah kereta kuda yang lewat. Kereta yang berlambang kan Kekaisaran Aesteler, terlihat megah tapi palsu. Lambang itu memang tampak mirip tapi aku sangat hapal detailnya.

Seorang wanita dengan topi bertudung turun dari sana. Sekilas mirip Asyla tapi itu bukan dia. Sejak kapan Asyla mau memakai gaun yang bagaikan pasar malam. Aksesoris sana sini, lalu pada bagian tubuh tertentu ada robeknya seperti kekurangan bahan, bahkan pakaian itu terkesan sangat ketat. Istriku tidak suka memakai yang seperti itu.

"Bersujudlah dihadapan yang mulia permaisuri kita" sorak salah satu penjaga keamanan.

Kau bercanda? Dia bukan istriku. Mereka memang punya tubuh yang sedikit mirip tapi istriku itu pendek. Aku mengikuti permainan mereka dengan bersujud, diikuti dengan penduduk lainnya.

"Aku ingin kain terbaik untuk membuat pakaianku"

'Kau memang memerlukannya," batinku.

"Lalu berikan aku buah buahan terbaik, serta perhiasan paling bagus. Pajak juga akan aku naikkan. Jika ada yang keberatan silahkan bicara langsung dengan suamiku," ucap wanita itu dengan angkuh.

'Suaminya? Dia fikir aku takut?'

Para rakyat tampaknya sangat takut pada orang itu. Sampah, mentang mentang istriku jarang aku tunjukkan dia bisa seenaknya bertingkah sesuka hatinya. Hukuman yang pantas bagi seorang penipu kelas sedang adalah dengan lidahnya dipotong, kelas ringan paling cuma dipenjarakan, kelas berat seperti dia aku masih belum memikirkannya karena sebelumnya belum ada kejadian begitu.

Saat wanita itu pergi aku dengan kesal melahap apel yang tadinya aku beli dari seorang wanita tua. Apelnya memang manis, kalau difikir fikir sejak kapan aku menyukai benda merah ini. Tak peduli seberapa banyak aku memakannya rasanya selalu enak tiap aku gigit. 

"Dari mana kau mendapatkan itu?" tanya Aster padaku.

"Aku membelinya"

"Jangan dimanakan, kau tidak tau siapa yang menjualnya"

Penulis & Dunia Novel [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang