Lelah, kesepian serta rindu. Semua rasa itu berpadu dalam satu menciptakan kekosongan yang padu. Di sini aku berusaha sendiri, mulai dari berjalan hingga berlari untuk menggapai mimpi.
Aroma darah dan keringat yang bercampur munyeruak masuk dalam rongga hidung. Tubuh ini telah bermandikan darah. Kotor dan bauk. Jeritan pedih serta permohonan ampun aku abaikan demi mencapai impianku. Aku tau ini salah.
Hukum rimba berlaku, yang lemah akan diinjak-injak oleh yang kuat. Kau tak bisa protes karena begitulah hidup. Tangan kecil ini telah dilatih untuk membunuh tanpa ampun. Tubuh mungil ini sudah dibiasakan untuk bertarung dengan berbagai senjata. Otak dan otot itulah yang utama jika kau adalah seorang petarung sejati. Tak bisa bisa menggunakan otak maka kau akan mudah ditipu begitu juga dengan otot. Jika kau lemah dah tak berani melawan, pada akhirnya kau akan menjadi alat bagi mereka yang kuat.
Aku sudah sering melihat kematian. Bahkan kematian itu sendiri seakan sedang mengintaiku. Kemanapun aku pergi pasti akan selalu ada yang namanya kematian. Cerita tentang malaikat penjaga hanyalah dongeng yang dibuat buat oleh orang tua agar anaknya jadi pemberani. Kebohongan yang diwariskan secara turun tenurun dan berubah menjadi suatu kebiasaan yang utuh.
Perempuan itu juga sering membohongi 'kami' tentang bintang bintang di langit. Dia membohongi kami dengan mengatakan bahwa dibintang ada seseorang yang juga menatap ke arah sini. Orang itu sangat jauh sehingga tidak dapat dilihat oleh mata.
Dulu mataku sempat berkaca-kaca mendengar ceritanya. Bahkan ketika dia tak mau bercerita aku akan menangis keras sambil berguling-guling di lantai hingga ia mau bercerita. Untaian kebohongan itu membuatku rindu dengannya.
Ibuku, dia orang yang bodoh. Ia bahkan sangat bodoh. Kebaikannya membunuh dirinya sendiri, bahkan merebut kebahagiaannya. Itulah mengapa aku membencinya. Aku sangat benci karena ia lengah dan berumur pendek. Kenanganku bersama si pembohong dengan senyum jelek itu membuatku makin membencinya.
Aku benci mengingat wajahnya. Nyanyiannya itu sangat jelek. Tubuh yang bermandikan darah sambil tersenyum itu membuatku muak. Padahal yang ia lindungi hanyalah sebuah mayat. Mayat dari orang yang semasa hidupnya selalu mengabaikan kami.
Demi rakyatnya ia melupakan istri dan anak-anaknya. Ia bahkan jarang menemui kami. Dihari ulang tahun kami juga sama. Ia tak datang, hanya tumpukan kado beserta kartu ucapan selamat darinya yang kami terima. Tindakannya membuatku bertanya-tanya. Apa benar kami ini anaknya?
Orang itu selalu mengabaikan kami hingga pada hari itu. Ibu terserang kutukan yang membuat rambutnya berubah jadi putih. Pria itu datang sambil membawa pedang. Wajahnya memerah, matanya menatap kami dengan pandangan jijik.
"Katakan padaku Viona, apa selama ini kau membohongiku?"
Pedangnya ia acukan pada leher ibu. Jelas-jelas ibu sedang sakit. Kulitnya saja sudah keriput. Wajahnya juga sangat pucat tapi orang itu malah mengacukan pedangnya pada ibu.
"Jauhkan tangan kotormu dari ibuku, dasar keparat sialan!" Mulutku berkata dengan lantang, tanganku mengepal kuat, mataku melotot ke arahnya.
"Hahaha, ibu dan anak sama saja. Apa kau tak menghormatiku sebagai ayah? Aster, putra kecilku tersayang. Ayahmu ini sangat terluka dengan ucapanmu"
"Kau bukanlah ayahku, kau hanyalah kaisar yang peduli dengan kerajaannya!"
"Anak kurang ajar. Aku selama ini bekerja keras demi kau, Nio, dan juga wanita sialan ini. Berani beraninya kau bersikap kurang ajar pada ayahmu"
Plak
"Ini salahmu, kau tak becus dalam membesarkan putra kecilku," hardiknya sambil menapar ibu.
"Hiks, ayah jangan memukul ibu. Hwee, kalau ayah benci Nio jangan pukul ibu. Nio salah karena Nio tadi habis mencuri coklat di dapur"
KAMU SEDANG MEMBACA
Penulis & Dunia Novel [Tamat]
FantasíaStatus : Tamat Up date: - Penyihir? Itu kata pertama yang aku dengar saat berada di dunia ini. Tanpa diizinkan mengucapkan sepatah katapun mereka langsung menyeretku ke suatu tempat yang tak asing bagiku. Tempat dengan rumah-rumah pohon. Rambut mere...