28; Musuh Lama

1.2K 142 25
                                    

Happy Reading
___


Kawaki memasukkan segenggam udara pada mulutnya, kemudian mengembuskan kembali udara itu dengan perlahan. Iris tajamnya ia pejamkan sejenak. "Ternyata hidup itu semembosankan ini."

Usai itu, Kawaki memperbaiki posisi berbaringnya di atas tempat tidur. Ia sedikit bergeser ke kanan, agar iris tajamnya dapat menatap sedikit langit biru yang tampak melalui jendela. Bibirnya terkunci rapat sebagai isyarat bahwa ia tak punya niat untuk berbicara.

Ketika melihat langit seperti saat ini, Kawaki lagi-lagi teringat pada Naruto. Lagi-lagi rasa bersalah itu menghunjam dadanya dengan kuat, menembus dinding tak kasatmata yang menutupi hatinya. Kawaki merasa serba salah, apa-apa tak bisa ia lakukan dengan bebas. Berbuat ini, salah, berbuat begitu juga salah.

"Nyatanya, memang aku pembunuhnya." Kawaki melirih.

Kawaki memejamkan matanya untuk mengingat potongan memori ketika dulu Naruto tersenyum padanya. Dulu sekali, ketika Kawaki dan Naruto bertemu untuk pertama kalinya, sosok Naruto terlihat begitu tak menarik di mata Kawaki. Namun seiring waktu yang terus mengalir, Naruto berubah menjadi sosok yang begitu Kawaki idolakan.

Di kala Boruto mengamuk karena ia tidak menerima kehadiran Kawaki di tengah keluarganya, Naruto berusaha untuk menenangkan Boruto. Naruto dengan sabar menjelaskan segala macam hal, juga perumpamaan apabila Boruto yang berada di posisi Kawaki. Kawaki ingat betul bagaimana percakapan yang terangkai di antara Naruto dan Boruto kala itu.

"Apa pun alasannya, aku tidak terima!"

"Boruto, dengarkan Ayah. Kawaki adalah anak yang Ayah temukan di jalan setapak hutan perbatasan Konoha, ketika Ayah melintas di sana setelah melakukan rapat bersama Kage lainnya di Kirigakure. Dia anak yang malang, tidak punya keluarga, hidup lontang-lantung tanpa arah, bahkan kerap dijadikan objek penindasan oleh sekelompok penjahat."

"Lalu? Ayah kira aku akan menerima kehadirannya? Tanpa kehadirannya saja Ayah sudah sering mengabaikan Himawari, apalagi nanti ketika dia resmi tinggal di sini. Ayah mungkin akan lebih menyayangi dia daripada aku dan Himawari. Tak usah aku, asalkan Ayah menyayangi Himawari, aku tak masalah untuk diabaikan."

"Ayah berjanji, tidak akan mengabaikan kalian lagi. Ayah berjanji akan pulang tepat waktu setiap harinya, tapi dengan syarat kau mau menerima kehadiran Kawaki."

"Pulang tepat waktu?"

"Ya."

Memang benar, usai itu Naruto selalu pulang tepat waktu dari kantornya. Lelaki itu bahkan mau menghabiskan hari liburnya di rumah, seharian penuh.

Awalnya Boruto senang, terutama ketika ia melihat senyuman ceria Himawari. Namun seiring dengan waktu yang berputar, tangan Naruto berpindah ke kepala Kawaki. Tangannya yang dulu sering mengusap kepala Himawari, kini berubah mengusap kepala Kawaki. Di hari libur Naruto menghabiskan waktunya berdua dengan Kawaki, berlatih di belakang rumah, atau mengobrol hingga tertawa terbahak-bahak.

Boruto kesal? Tentu. Kawaki bahkan sadar bahwa Boruto kesal padanya.

Suatu pagi di hari libur, ketika semua anggota keluarga Uzumaki lengkap dengan Kawaki menyantap sarapan di meja makan, Himawari memanggil Naruto sambil tersenyum. Kala itu Himawari ingin bercerita tentang hari-harinya. Namun apa yang dilakukan oleh Naruto malah membuat gadis itu sedih. Naruto hanya menoleh sekilas sambil tersenyum, kemudian kembali melanjutkan obrolannya dengan Kawaki. Detik itu juga Boruto bangkit dari duduknya, meletakkan sendok hingga berdenting cukup kuat dengan piring. Boruto menghela napasnya, kemudian pergi begitu saja tanpa permisi.

Rules [BoruSara Fanfiction]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang