Kelamnya malam tengah dikoyak angin badai dengan gelegar genta guntur petir yang saling bersahutan. Di sebuah shelter yang terlindung dari semua itu, Galan Alato tengah menanti anggota baru keluarga dengan raut muka cemas. Tierra-istrinya-tengah mengerahkan segala daya, bertaruh nyawa agar sebentuk kehidupan yang dikandung selama 9 bulan, terlahir dengan selamat dibantu oleh dukun yang terus memberi semangat.
Tak lama kemudian, tangis bayi pun terdengar dan pada detik itu juga badai makin menggila seakan menyambut kelahiran, mencerabut pepohonan dari tanah dan menerbangkan bubungan atap beberapa rumah.
Saat badai mereda pada keesokan harinya, kerusakan yang di alami desa itu sungguh menyayat hati. Beberapa bangunan hanya menyisakan tiang pancang saja, sementara sisanya lenyap tak bersisa.
Para penduduk yang rumahnya tersapu badai hanya bisa merutuk dalam hati akan badai yang datang tanpa sebab, sementara sebagian lainnya mulai memungut harta benda yang tersisa dari rumah mereka dengan perasaan sama hancurnya.
"Ini amarah dewa badai! Kita harus menenangkannya dengan lakukan pengorbanan," cetus sebuah suara yang ternyata berasal dari sang dukun.
"Tapi mengorbankan apa? Kita tak lagi punya ternak ataupun hasil bumi untuk ditawarkan pada dewa," ucap salah satu dari penduduk.
"Kalau begitu, kita memakai cara lama," simpul sang dukun.
"Aku menolak keras, kita semua sudah sepakat meninggalkan cara lama yang sesat itu!" tegas Galan yang merupakan pemimpin di desa ini.
"Lalu dengan apa kau menenangkan kemarahan dewa?" serang balik sang dukun.
Galan pun terdiam, benaknya tengah bekerja keras menemukan solusi yang eksak untuk mengatasi kemalangan ini. Sementara, mental penduduk sudah terperosok dalam jurang putus asa dan dalam keadaan ini tentu saja mereka langsung menyetujui apapun tanpa pikir panjang.
Tangisan bayi memecah keheningan yang tersisa, di benak masing-masing mereka mencetuskan satu ide tunggal yang menjadi solusi permasalahan.
Galan merespon tangisan itu dengan masuk ke dalam shelter dan beberapa saat kemudian keluar dengan bayi dalam pelukannya, tanpa sadar perubahan raut wajah penduduk desa yang mulai mendekat kearahnya.
Kejadian itu begitu cepat, sehingga Galan langsung ambruk saat belakang kepalanya di hantam begitu kerasnya dengan benda tumpul. Seakan tahu ayahnya diserang bayi itu pun melempar tantrum, mengibas-ngibaskan tangannya ke udara seakan ingin menghalau uluran tangan asing yang ingin merampasnya dari pelukan hangat ayah.
Setiap usaha yang dilakukan penduduk untuk merengkuh sang bayi menemui kegagalan, karena disekitar geletakan tubuh Galan dan bayi dalam pelukan, ada semacam medan pelindung angin yang siap memental balik tangan mereka.
"Tunggu apa lagi, bawa bayi itu ke altar pengorbanan!" titah sang dukun yang kembali ke tempat itu karena tumbal yang ditunggu tak kunjung tiba.
Titahnya direspon tatapan tegang penduduk yang hanya bisa mematung, sambil mengelilingi geletakan tubuh tak sadarkan diri pemimpin desa mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tempest
FantasyPada upacara Cominofage di desa Aldeia, Re Zawari yang dikenal sebagai bocah lindur membangkitkan elemen angin dan pada saat yang bersamaan sepucuk surat datang ke kediaman keluarganya dalam wujud burung kertas yang berisi undangan dari sebuah akade...