Ledakan udara padat yang melingkar di pergelangan tangan Re membuat lawan kembali melambung tinggi kemudian menghujam bumi, begitu kerasnya hingga tercipta sebuah ceruk yang lumayan dalam di tanah.
"Kumohon menyerahlah!" hela Re saat melihat adanya usaha lawan untuk kembali bangkit meski terhuyung. "Jika lebih dari ini kau akan kehilangan nyawa...." lanjutnya setengah bisik.
"Ta-rungh!!" gelegar Garga menyelimut kembali tubuhnya dengan aura amuk yang lebih pekat dari sebelumnya.
Re mendengus kasar, keteguhan Garga membuat dia frustrasi karena detik yang tersisa sudah tidak banyak lagi dan kini tiada pilihan selain melumpuh lawan dengan cara yang paling dibenci.
Tubuh Garga seketika limbung akibat luka sayatan pada Tendo Achillis yang membuat dirinya tak bisa menggerak kaki untuk sementara waktu.
"Menyerahlah dan aku akan menghentikan pendarahan lukamu...." ucap Re dengan raut sesal. Dia sudah tak ingin lagi melanjutkan duel yang diatas kertas sudah menang karena lawan tak lagi berkutik dan hanya menunggu waktu untuk merenggamg nyawa akibat kehabisan darah.
Namun sepertinya Garga tak mengenal kata yang berulang kali diucap Re dan memilih untuk melakukan serangan terakhir dengan melenting tubuhnya ke arah lawan dengan amarah yang meluap-luap.
"GRAAAAAH!"
"Kalau begitu, ijinkan aku memberi kematian tanpa rasa sakit bagimu...."
Dalam sekejap mata Re menebaskan Scytheglaive berselimut cahaya hijau terang dalam genggam tangannya dan tubuh besar Garga terkoyak hingga tak bersisa sebelum serangan penghabisan itu menyentuh tubuh.
"Semoga di kehidupan selanjutnya kita tak lagi berseberangan seperti ini..." bisiknya sejenak mengatupkan tangan sebelum melangkah memasuki mulut gua. Gua yang tengah dimasuki Re memiliki lorong memanjang dari mulut gua lalu perlahan melebar, di bagian ini dia melihat semacam sarang dengan serakan belulang binatang, lukisan dinding gua yang menggambarkan kekuatan Rhesus dan aksara manusia yang merangkai nama pemilik sarang.
"Hmm, kira-kira siapa yang mengajari Garga semua ini...." telisik Re mengedar pandangan ke setiap gambar yang ada di dinding gua itu. Hingga perhatiannya terhenti pada gambar yang sudah agak pudar tentang seekor Rhesus memegang sebuah batu.
"Batu memori?! Sungguh tak terduga jika seekor makhluk seperti Rhesus bisa membuka bahkan belajar sesuatu ilmu darinya...."
Penelusuran gambar dinding lanjutan memberi informasi tentang letak batu memori itu disimpan. Karena properti sihirnya, batu itu diletakkan di altar dan disembah sebagai dewa letaknya di ruangan terdalam gua ini yang kini akses masuknya telah di barikade oleh bebatuan berukuran besar.
Dirinya mudah saja meniada halangan itu namun sedapat mungkin tidak membuat mereka merasa terancam dan segalanya berubah jadi pembantaian. Maka dengan kemampuan telepatinya, dia ingin mengajukan penawaran yang tak bisa mereka tolak.
Aku berbicara kepada mereka yang mengerti ucapanku; Alpha kalian telah tiada dan kedatanganku bukan untuk membasmi kalian, jadi singkirkan halangan yang menutupi liang ....
Dalam sekejap mata bebatuan yang menutupi liang melayang ke arah Re diiringi teriakan amarah. Bebatuan itu menghantam dinding gua hingga meruntuhkan langit-langit dan mengubur apa yang ada di ruangan itu.
Namun beberapa detik setelahnya, pusaran angin berkecepatan tinggi menerbangkan reruntuhan itu seperti tumpukan rumah kartu dan membebas sosok yang tadi terkubur dibawahnya.
"Pem-bunuh!" raung suara dibalik tudung jubah coklat.
"Tak ada bantahan untuk itu," kedik Re yang kemudian meniadakan pusaran angin dan melangkah maju menuju penyerang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tempest
FantasyPada upacara Cominofage di desa Aldeia, Re Zawari yang dikenal sebagai bocah lindur membangkitkan elemen angin dan pada saat yang bersamaan sepucuk surat datang ke kediaman keluarganya dalam wujud burung kertas yang berisi undangan dari sebuah akade...