# 03 : Colloquium

25 9 8
                                    

"Kira-kira bagaimana reaksi ayah tentang hal ini ya?"

"Ayahmu adalah batu sandungan yang harus kau menangkan hatinya."

"Kenapa ayah begitu membenci sihir bu?"

"Ayahmu punya sejumlah alasan untuk menjauhi sihir, salah satunya karena keadaan ibu." ucapnya menghela nafas, kemudian menarik keluar kalung yang dipakainya dimana sebuah kristal berwarna hijau terang sebagai mata kalung.

"Sebelum menikah dengan ayahmu, ibu menerima sangsi penyegelan elemen. Kristal di kalung ini milik ayahmu dan berfungsi sebagai penyerap Psyche karena tubuh ibu tak bisa melakukannya secara alami."

"Kesalahan berat apa yang ibu lakukan sehingga mendapatkan sangsi?"

"Dicintai oleh ayahmu." jawab sang ibu sambil mengulas senyum.

Re ingin bertanya lebih lanjut namun disela oleh sang ibu dengan menanyakan hal lain yang remeh-temeh, seperti warna yang muncul di kristalnya saat upacara Comingofage tadi.

"Hei, kenapa warna kristalku jadi seperti ini bu?" kernyit Re ketika merogoh keluar kristal upacara untuk ditunjukan pada ibunya. "Tadinya hijau terang dan kata tetua elemenku angin, kalau begini apa jadinya elemenku," lanjutnya frustrasi.

Sang ibu menatap kristal dalam genggaman tangan anaknya dengan tatapan tidak percaya, warna hijau kecoklatan pada kristal merupakan sebuah anomali yang cukup langka terjadi pada keturunan dari pengguna dua elemen yang saling sinergi. Anomali ini serta merta membuka dua kemungkinan yakni dual elemen atau terciptanya elemen baru.

"Tak perlu frustrasi begitu, mungkin hanya sementara saja terlihat seperti itu," hibur sang ibu.

"Ya sudah bu, Re pergi main dulu dengan mereka." pamitnya.

'Main' ialah istilah Tierra bagi Re untuk berlatih dengan ketiga Familiarnya. Saat kecil, Re sudah bisa memanifestasikan mereka dalam wujud musang angin. Awalnya Re hanya ditemani sepasang musang putih dan hitam yang dia beri nama Shichi karena ketika berdiri tegak menyerupai angka tujuh ketika lengan aritnya dalam keadaan siaga sementara arit yang ada pada Go terletak di ekornya hingga menyerupai angka lima yang menjadi arti dari namanya. Dan ketika Re berusia 3 tahun, anggota keluarga terakhir dari dua musang itu pun bermaterialisasi ketika seekor Shield Boar remaja terpisah dari kawanan dan memasuki desa karena kelaparan. Pada kejadian itu, ayahnya sudah berangkat ke ladang sementara ibunya tak bisa berbuat banyak. Pada saat itu Re terluka cukup parah akibat terkena serudukan makhluk itu, dia dinamai San oleh Re yang berarti angka tiga. San tak memiliki arit seperti kedua kakaknya, melainkan sepasang tangan berbentuk mata kuas dan menggendong pundi yang berisi ramuan penutup dan penyembuh luka di punggungnya.

"Keluarlah, Shichi-Go-San!" ucap Re yang kemudian direspon dengan bunyi plop! yang memunculkan tiga pasang musang putih meliuk riang di udara selama beberapa saat sebelum pada akhirnya menubruk jatuh tubuh tuannya.

Maafkan atas kekurangajaran kami Tuan!

"Hahaha tak apa, aku juga rindu kalian kok!" mahfum Re merangkul ketiganya kedalam pelukan, begitu eratnya sehingga Shichi kesulitan menjauhkan lengan aritnya agar tak sampai melukai tuannya.

"Nah teman-teman, tanpa kuberitahu pun kalian pasti sudah tahu alasanku memanggil kalian, bantu aku berlatih agar bisa meyakinkan ayah untuk mengijinkanku masuk ASA...."

Keinginan Tuan adalah perintah bagi kami!

"Baiklah, ayo kita mulai!"

===

Sore telah menjelang, Tierra bisa melihat wajah kelelahan Galan yang tengah berjalan menuju rumah mereka dari balik jendela. Di punggungnya ada keranjang berisikan bahan makanan dan hasil ladang sementara di tangan kiri dan kanannya ada seikat besar kayu bakar untuk digunakan masak keluarga mereka.

Mengucapkan salam kemudian masuk langsung ke bilik pembersihan untuk menyegarkan diri, berganti pakaian dan pada akhirnya duduk menyantap masakan sang istri yang terhidang diatas meja, itulah kebiasaan Galan setiap harinya yang telah Tierra hapal diluar kepala. Dan diatas meja makan inilah biasanya dia akan bertanya tentang Re yang tak akan kembali sampai matahari meninggalkan lembah Caldera.

Pertanyaannya kali ini dijawab Tierra dengan uluran surat dari akademi.

"APA ini?!" dengus Galan mencengkram surat lalu melemparnya keluar meja tanpa niatan membacanya.

"Anakmu ingin masuk ASA," jawab Tierra.

"Tak akan kuijinkan!" kibas Galan tegas.

"Hilangkan keras kepalamu Galan dan lihatlah ini sebagai pertimbangan."

Tierra lantas mengulur kristal upacara Re yang berwarna tak lazim.

"Ini Kristal milik Re?"

Kini Galan dalam dilemma saat mendapat anggukan dari istrinya sebagai jawaban dari pertanyaan, dia sangat tak ingin anaknya terjun ke dunia yang telah menyengsarakan istrinya. Namun, Re butuh bimbingan dan pengajaran yang tepat untuk kemampuannya.

"Apa dia sudah tahu apa arti dari warna kristalnya?"

Tierra menggeleng.

"Dimana dia sekarang?"

"Main ..."

"Eryy~"

Galan mendesahkan nama panggilan kesayangan Tierra sebagai pertanda dia tak senang dengan sesuatu.

"Dia sangat ingin masuk Al, apa kau ingin dia seumur hidup terjebak di desa ini dan menyianyiakan potensinya?" ucap Tierra dengan nada membujuk.

"Hhhhh~ kau ini selalu saja ...."

"Beri dia kesempatan untuk tunjukkan keseriusannya, kau bisa mengujinya jika mau."

Galan menjentikkan jari, seakan yang dikatakan istrinya itu sebuah jawaban atas kekalutannya.

"Jika dia merasa tak mampu pastinya akan urungkan niat dengan sendirinya!" gumam Galan sambil tersenyum dan mulai melahap makanan setengah dingin yang dianggurinya sedari tadi.

Dalam hati Tierra pun merasa puas, pada akhirnya bisa sedikit meretak rasa tak suka Galan pada sihir dari sisi egonya yang sangat dia kenal. Suaminya memang Maghi yang kuat, tetapi Re yang sedang serius tak akan menyerah semudah itu. 

Sementara itu, Re yang tengah mereka berdua bicarakan saat ini tengah dalam perjalanan pulang dengan senyum seluas samudera meninggalkan hutan tempatnya berlatih dengan beberapa cabang dan dahan pohon nyaris gundul terpangkas, batu besar yang terbelah dua dan sejumlah luka sayatan samar di kedua lengannya.

Begitu dirinya berada di padang rumput yang terhampar begitu keluar hutan, Re merasakankan perubahan pada angin yang bertiup lebih cepat dari biasanya dan seketika membuatnya waspada.

"Siapa disana?" ucap Re kemudian memunculkan bilah angin dan langsung menyerang ketika dirinya merasakan pergerakan di udara.

Bilah angin yang Re lemparkan berhasil mengoyak bagian tudung sosok yang bersembunyi dalam kegelapan.

"Kau boleh juga bocah!" puji Galan, sosok dibalik jubah hitam itu kemudian menerjang secepat kilat dengan pedang angin yang dia ciptakan dalam hitungan detik. Namun, begitu sabetan pedang angin hendak menyentuh tubuh lawan, wujudnya langsung menghilang.

"Disperse Wind... pilihan yang cukup pintar, akan tetapi!" ucap sosok itu yang ternyata telah mengantisipasi tindakan tersebut dengan serangan fisik berupa pukulan yang menghantam wajah Re hingga terpental beberapa langkah ke belakang. Re melepeh ludah bercampur darah yang terasa asin di indera cecap, serangan barusan bisa berefek fatal jika saja kemampuan para Kama Itachi untuk meredam hantaman benda tumpul, Wind Cushion terlambat aktif tadi.

Re kemudian menyatukan kedua telapak tangannya di depan dadanya dan segera setelah kedua tangan itu terkatup, tirai angin super kuat tercipta tiba-tiba dan menyerap benda apapun yang ada di sekitarnya.

"Keluarkan semua kemampuanmu bocah, kalau kau tak ingin mati!" ucap sosok berjubah itu menciptakan tirai angin yang tak kalah kuatnya. Pusaran angin keduanya saling tarik menarik untuk beberapa saat kemudian memecah saat Re telah selesai merapal serangan terkuatnya.

《Tsuzuku》

TempestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang