4. Flash Back : Ketakutan

180 35 29
                                    

Althaf memutar langkah karena paman yang ia ajak bicara tidak mau mencarikan di mana orang tuanya berada, bukannya membantu, ia malah memberinya uang. Pria itu memberikan uang selembaran yang bernilai 20 ribuan, artinya dia pasti sangat kaya karena bisa dengan mudahnya memberikan uang sebanyak itu kepada Althaf.

Berjalan dengan menunduk membuat Althaf menabrak seseorang, lebih tepatnya, orang itu yang sengaja menghalangi jalan Althaf. Althaf mendongak menatap seorang pria 25 tahunan tampak tersenyum ke arahnya. Althaf sampai berpikir kalau pemuda itu mungkin mengetahui di mana orang tuanya berada. Sedikit berharap kalau pemuda itu akan membantunya, Althaf berusaha membalas senyumannya dengan ada rasa takut.

"Bagi uangmu!" Pria itu mengulurkan tangannya ke arah Althaf.

Althaf menggeleng karena paman tadi memberi uang itu untuknya, uang itu bisa ia pergunakan untuk mencari orang tuanya, begitu pikirnya. Mencoba menghindari pemuda aneh itu, Althaf berusaha abai dan menyiapkan langkah untuk segera pergi, agar orang tuanya bisa segera ia temui.

Pemuda tadi menarik kerah baju bagian belakang Althaf yang membuatnya harus berjalan mundur dan menangis ketakutan. Pemuda itu malah terus memaksa Althaf untuk memberinya uang yang tadi Althaf peroleh. Pemuda itu juga memaksakan tangannya untuk mengeruk saku celana milik Althaf agar permintaanya segera dikabulkan.

Pria yang memberi Althaf uang tadi sudah masuk ke dalam mobil sedan yang menunggunya dan juga sudah mulai meninggalkan lokasi. Matanya sempat tertuju pada spion di mana posisi Althaf bisa tertangkap oleh pandangannya. Althaf yang tengah dipaksa menyerahkan uang yang tadinya ia berikan padanya sedikit menarik perhatiannya. Seorang pemuda berambut gondrong yang terlihat berbadan kurus adalah pelakunya.

Mendengus kecil. "Hentikan mobilnya!" perintahnya segera yang membuat orang yang mengemudi harus berhenti mendadak.

Dari dalam koper bawaannya tadi yang berisi sejumlah senjata, pria itu mengeluarkan sepasang kerambit dan memasangkan ke jari telunjuknya dan menggenggamnya. Pintu mobil terbuka segera dan memperlihatkan sosok berkacamata itu dengan posisi siap menyerang. Dibalik kacamatanya itu tersirat pancaran mata yang siap untuk membunuh.

"Hei, apa yang kaulakukan?" tanya pria yang tadinya mengemudi.

Pertanyaannya tak dihiraukan karena melihat Althaf sudah kesulitan menghindari kegilaan pemuda gondrong di sana. Meski begitu, usahanya tak begitu berhasil karena Althaf terus mencoba untuk tidak membuka saku celananya yang ia tahan dengan tangannya.

Tanpa mereka sadari, pria berkacamata tadi sudah berada di dekat mereka. Dengan kecepatan kilat, kerambit di tangan kanannya sudah memutari leher pemuda gondrong tersebut. Hal itu membuat darah bermancuran keluar dari sekeliling lehernya. Kerambit di tangan yang satunya lagi ia pergunakan untuk menusuk bagian perut. Di sana barulah sebagian orang berteriak menjerit ketakutan. Padahal sedari tadi Althaf butuh bantuan, tapi mereka memilih abai dan sekarang baru meraka memperhatikan karena melihat pertumpahan darah. Sepertinya jika tadinya Althaf terluka oleh Sang Pemuda, maka barulah mereka akan peduli, mungkin saja begitu.

Dengan menunduk menyembunyikan wajah yang sedari awal sudah ditutupinya, pria itu menggendong Althaf dengan sigap dan membawanya pergi ke arah mobilnya. Althaf terlihat shock dengan getaran yang terasa menjalar di seluruh tubuhnya. Tentu dengan hati-hati pria itu menggendongnya karena ia tengah menggenggam sepasang kerambit di kedua tangannya. Ia menggendong Althaf tanpa menempelkan telapak tangannya kepada Althaf sedikit pun, guna menghindarkan Althaf dari tajamnya kedua mata kerambitnya.

Sesampainya di dalam mobil, ia mendudukkan Althaf di bagian belakang, sementara dirinya duduk di sebelah kemudi. Masih dengan ketakutan yang merasuki tubuhnya, Althaf memeluk lututnya dengan erat dan menahan getaran di tubuhnya agar segera berhenti. Bukannya berhenti, getarannya malah semakin menjadi dan membuat bibirnya tak bisa mengatup sempurna.

Mobil pun mulai bergerak dengan sedikit laju. "Apa-apaan itu tadi? Ada banyak orang di sana, apa yang kaupikirkan hah, Sialan?!" umpat pria yang mengemudi dengan menggertakkan gigi-giginya.

"Diamlah!" Hanya jawaban demikian yang pria berkacamata suarakan, ia malah sibuk membersihkan darah di mata kerambit dengan sapu tangannya.

"Sial! Lalu, apa yang akan kaulakukan dengan anak kecil itu?" tanyanya lagi dengan melirik ke spion tengah sepintas.

"Entahlah! Aku hanya membantunya. Karena aku tahu kalau pemuda tadi meminta uangnya!"

"Lalu, apa sekarang kau mau membuangnya, Sam---"

Ucapannya terhenti dengan gerakan kepalanya yang meliuk menghindari mata kerambit yang tiba-tiba mengacung dihadapannya. Mata mereka bertemu dengan senyuman setan dipamerkan Sang Pria berkacamata.

"Woi! Apa kau mau membunuhku?" umpat pria itu kesal dengan serangan tiba-tiba yang mengacunginya.

"Refleksmu bagus! Tak salah kenapa kau yang kupilih menjadi rekanku! Tapi, ingat, jika kau berani memanggilku dengan nama itu lagi, seranganku ini tidak akan meleset lagi!" ancamnya dengan memutar pangkal kerambit dengan kecepatan yang tinggi.

"Baiklah, Diego, tapi tidak harus mengacungkan senjatamu itu ke arahku! Kau bisa bicara baik-baik tanpa harus menggunakan benda itu bukan?" sahut pria yang mengemudi dengan suara sedikit memelan kesal.

"Hentikan mobilnya!" Perintah yang sama untuk kedua kalinya membuat pria yang mengemudi lagi-lagi berhenti mendadak. Ia menatap nyalang ke arah pria bernama Diego itu yang seenaknya memerintah tiba-tiba.

"Turun!" Lagi-lagi Diego memerintah dengan nada suara pelan yang terkesan mengancam.

"Apa lagi sekarang?" tanya pria itu bingung dengan perintah Diego.

"Aku ada urusan! Roy, kau bisa pulang sendiri dari sini!" ucapnya dengan turun untuk mengambil posisi kemudi.

Pria yang bernama Roy itu pun ikut turun dengan sedikit membanting pintu mobil. "Brengsek, bisa kauucapkan kata yang lebih jelas lagi? Jangan memenggal-menggal ucapanmu itu, aku tidak mengerti. Katakan alasan kau menyuruhku pulang sendiri dengan jelas," hardik Roy dengan menendang ban depan mobil sedannya.

"Aku ada urusan dengan bocah itu, tanpa kau!" terang Diego dan memasuki mobil.

"Bagaimana dengan misi kita? Apa kau mau mengabaikannya? Apa kau mau mati?" tanya Roy lagi dan lagi. Entah sudah berapa kali ia bertanya dengan kebimbangan yang ia rasa.

"Tenang saja, akan kulakukan sesegera mungkin! Tanpa kau pun aku masih bisa melakukannya. Kau pulang saja dan tunggu kabar baiknya, kau tidak perlu mengotori tanganmu itu untuk misi kali ini!" tukas Diego mantap dan melajukan segera mobilnya.

Althaf yang sedari tadi berada di kursi belakang tentu mendengar percakapan mereka. Tetapi, ia belum mengerti apa-apa hanya untuk sekedar memahami percakapan dua pria dewasa di hadapannya. Ia hanya bisa menangis sambil memeluk lutut seperti kucing dipukul tuannya. Kejadian tadi masih merenggut semua keberaniannya dan hanya menyisakan rasa takut akan bayangan kejadian menyeramkan beberapa menit lalu.

"Seorang pria tidak boleh menangis dalam kondisi apa pun! Jadi, berhentilah menimbulkan suara isakan menyebalkan itu keluar dari mulutmu, Bocah." Diego menatap anak laki-laki itu lewat spion tengah, posisi yang sama masih Althaf tunjukkan, yaitu posisi memeluk lutut.

"Siapa namamu?" tanya Diego lagi yang membuat anak laki-laki tadi sedikit memberanikan diri untuk mendongak.

"Al--thaf!" jawabnya dengan suara terputus-putus dan sangat pelan.

"Baiklah! Namaku Samsul dan kau sudah mendengarkan kalau paman yang tadi memanggilku Diego, jadi kau juga harus memanggilku Diego!" jawab Diego, "Sekarang namamu juga akan kuganti. Mulai sekarang hanya kita berdua saja yang boleh tau nama aslimu, begitu juga nama asliku. Kuberi kau nama ... Cakrawala! Ingat, namamu adalah Cakrawala dan nama singkatmu adalah Cakra. Mengerti?" tekan Diego pada anak laki-laki yang diberinya nama Cakrawala itu.

Tak tau alasan kenapa Diego mengganti namanya, Althaf hanya bisa mengangguk. Bahkan untuk membantah ucapannya Diego saja ia tak berani, bahwa nama aslinya hanya mereka berdua saja yang tahu? Padahal Roy tadi sempat ingin menyebut nama aslinya yang berarti tak hanya mereka berdua saja yang tahu nama asli Diego. Mengangguk adalah jalan terakhir yang dimiliki Althaf meski ia masih penasaran dengan orang asing ini yang mengganti namanya seenaknya saja.

Bersambung...

Hunting Dogs (End✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang