1. Anak Anjing

864 98 51
                                    

Pria paruh baya yang terbaring di brangkar sana membuat hati pemuda yang berdiri di sampingnya tak bisa diungkapkan dengan kata. Orang yang selalu dipanggilnya ayah itu sekarang sudah terbaring di sana semenjak 1 jam lamanya. Juga ada seorang pria seumuran ayahnya berdiri di sebelah Sang Pemuda. Pria dengan bobot lebih tinggi dari Si Pemuda itu adalah rekan Sang Ayah.

Cakrawala namanya, panggil dia Cakra karena itu nama pemberian ayahnya. Tak seorang pun yang boleh merubahnya karena ayahnya bilang itu adalah rahasia, juga karena itu bukan nama aslinya. Cakra sekarang sudah berumur 28 tahun, itu artinya ia bukan lagi pemuda yang berpikiran pendek. Cakra berbeda dari pemuda seangkatannya, ia sedikit tertutup dan hanya menunjukkan sisi lain dirinya kepada orang lain. Mungkin, hanya ayahnya seorang yang tahu akan siapa dia sebenarnya, bahkan rekan Sang Ayah pun tak tahu menahu akan sosok Cakra yang sebenarnya. Intinya, dia berbeda dari apa yang terlihat.

"Cakra, pria tak harus menangis hanya karena orang berharganya terluka ataupun hilang! Bukankah kata-kata itu yang selalu ayahmu ucapkan? Lalu, apa yang kaulakukan sekarang? Menangis? Jangan bodoh, Cakra!" umpat pria disebelahnya yang selama ini hidup bersama Cakra dan juga ayahnya.

Cakra menarik napas dalam dan mengembuskannya bersama tawa. "Tidak ada kata menangis dalam kamusku karena ayah mengajarkanku apa itu tawa. Ayah bilang aku adalah batu permata yang membawa kebahagiaan untuk orang yang melihatnya, tapi ayah bagiku adalah batu biasa yang bisa aku buang kapan saja!" jawab Cakra dan memamerkan gigi putih miliknya.

"Dasar, kalian berdua memang sama, padahal sakit, namun masih bisa tertawa. Aku cukup mengenal kalian berdua, aku juga tau kalau sekarang kau bersandiwara." Rekan Sang Ayah berujar mengejek reaksi Cakra yang ia pikir hanya sandiwara.

"Paman Roy, jika kau sudah mengenal kami berdua, maka jangan lupakan kalau ayah tidak pernah tertawa, tapi aku selalu tertawa karena aku berbeda darinya," jawab Cakra menentang pemikiran orang yang dipanggilnya paman Roy.

Roy memang tidak tahu sikap Cakra yang sebenarnya, tapi ia tak bisa menganggap Cakra orang yang bisa membuang batu biasa kapan saja. Dilihat dari mana pun juga, Cakra adalah orang yang selalu terlihat bahagia dalam semua kondisi. Semua orang mungkin menganggapnya nyata, tapi bagi Roy semua hanyalah sandiwara karena Cakra juga manusia yang tahu kapan harus menangis dan kapan harus tertawa.

Derap langkah terdengar memasuki ruangan yang Cakra tempati kini, tubuhnya tak bisa untuk terus membelakangi langkah yang semakin mendekati. Roy pun begitu, ia juga berbalik badan menghadap siapa yang datang di saat dokter belum lama ke luar. Cakra menatapnya intens, sedangkan Roy langsung menunduk memberi hormat.

"Beri hormat pada bos kita!" ucap Roy dengan menundukkan kepala Cakra yang masih tegap menatap yang datang.

"Bos? Apa dia bosmu dan juga ayah?" tanya Cakra penasaran akan sosok yang datang dengan dua pengawal setia di belakang.

Cakra dan Roy serentak mengangkat kepala saat pertanyaan Cakra selesai diutarakannya. "Benar!" Bukan Roy yang menjawab pertanyaan Cakra, tapi pria yang berdiri dihadapannya.

Pria ber-tuxedo dark blue itu meneruskan langkahnya menuju brangkar Sang Ayah dan menyunggingkan senyuman di sana. Dua orang yang adalah pengawalnya tampak masih setia di tempat semula dengan satu di antaranya yang membawa koper berukuran sedang. Pakaian mereka juga sama dengan pria yang mereka kawal, yang membedakan hanya warna saputangan dalam kantong mereka.

"Diego, rupanya kau sudah tua! Sepertinya batas waktumu hampir tiba, terpaksa aku harus menggantikan posisimu dengan orang lain! Tapi, aku tau kalau kau telah mempersiapkan menggantimu sebelum aku mencarinya, jadi izinkan aku untuk mengujinya hari ini juga!" ucap pria yang sedikit lebih tua dari Sang Ayah dengan menatap wajah ayah yang hanya terpejam tanpa respon. Pria itu juga terlihat menahan tawa entah karena apa, mungkin saja karena dia senang ada pengganti orang yang dipanggilnya Diego itu.

Pria itu berbalik menatap Cakra yang hanya santai menanggapi tatapan pria itu. "Siapa namamu?" tanyanya pada Cakra dengan menepuk pundak Cakra.

"Namaku Cakrawala, panggil aku Cakra!" sahut Cakra mantap.

"Baiklah, mulai sekarang namamu bukan lagi Cakra, tapi---"

"Tidak ada yang boleh mengganti namaku selain ayah! Termasuk itu kau sekali pun!" potong Cakra dengan sorot mata tajam.

"Cakra, lihat dulu dengan siapa kau berbicara!" peringat Roy berbisik dengan menyenggol bahu Cakra.

Pria itu tertawa mendapat respon demikian dari Cakra, tawa yang menjengkelkan itu terasa memekakan gendang telinga meski suara tawanya tak begitu keras. Cakra mendelik dan menampakkan ekspresi tak sukanya, meskipun dia bos, Cakra tidak peduli karena baginya namanya hanya Cakra dan tidak bisa diganti. Meskipun akan diganti dengan nama aslinya sekali pun.

"Baiklah!" jawab pria itu dan memberi isyarat pada pengawalnya untuk mendekat.

Pengawalnya yang membawa sebuah koper tadi mengikuti instruksi Sang Bos dengan berjalan tegap. Ia menyerahkan koper yang entah apa isinya itu kepadanya, sekarang koper tersebut berpindah tangan. Sedikit mengelus kopernya itu, pria yang dipanggil bos tadi mengulurkan tangannya ke arah Cakra dan mengangkat alisnya sebelah kanan memberi intruksi pada Cakra agar mengambilnya.

"Jadi, Cakra. Apa kau bersedia menjadi anjing selanjutnya?!" tawar pria itu kepada Cakra dengan entengnya.

Roy cepat menyanggah ucapan mereka sebelum Cakra bisa menjawabnya. "Tunggu, Bos! Apa ada seseorang yang harus diburu untuk hari ini? Kalau begitu biar saya saja yang menggantikan Diego," mohon Roy dengan menundukkan kepala.

Bos itu menatap ke arah Roy dengan tersenyum licik. "Tutup mulutmu, Sialan! Aku tidak pernah berniat untuk mengajakmu berbicara." Koper di tangannya sempat ia layangkan ke arah kepala Roy, tapi Roy berhasil menghindarinya karena ia cukup tangkas dalam mengatasi serangan tanpa aba-aba.

"Maaf, Bos!" ujar Roy sambil memundurkan langkah.

"Pergi!" usir pria Bos itu kepada Roy dengan menggerakkan kedua pengawalnya.

Roy memberontak saat dua pengawal itu menghampirinya. "Saya bisa ke luar sendiri!" tantang Roy dan beranjak keluar dari ruangan itu agar kegaduhan tidak tercipta karena mereka masih berada di rumah sakit.

"Apa kaumemintaku untuk menggantikan peran ayahku sebagai anjingmu?" tanya Cakra tanpa rasa hormat sedikit pun.

"Dengan senang hati saya menjawab 'iya'. Jadi, terima ini dan lakukan tugas pertamamu!" perintahnya sambil menyerahkan kembali koper ke arah Cakra.

Cakra mengambil koper itu tanpa ragu karena Cakra tahu tujuan ia dibesarkan oleh Diego adalah untuk menggantikan perannya. Sekarang sudah saatnya peran itu diambilnya, yaitu sebagai anjing pemburu. Cakra memang tidak menjawab mau atau tidaknya ia dalam mengemban tugasnya, tapi dengan mengambil koper pemberian pria itu sudah bisa menjawab kesediaan Cakra akan tawarannya. Jika ayahnya dipanggil anjing, maka ia berarti anak anjing yang harus hidup layaknya anjing. Bergerak dibawah perintah Sang Tuan dan makan dari pemberian Sang Tuan pula karena begitulah pangkat seekor anjing.

"Di dalam sana ada foto mangsa yang harus kauburu untuk hari ini dan dia ada di rumah sakit ini. Semoga kau bisa diandalkan sama seperti ayahmu yang merupakan anjing favoritku, dulu. Jadi, jangan buat aku kecewa dengan buruan pertamamu!" Pria tadi berbisik di telinga Cakra dan pergi begitu saja. Ada penekanan kata 'dulu' di suaranya.

Cakra masih tetap dengan diamnya, ia lebih memilih abai dan mulai persiapan akan dirinya untuk menuntaskan tugas pertamanya. Sebagai penerus dari Sang Ayah yang sudah tak lagi bisa mengemban tugas sebagai anjing mereka. Pada dasarnya anjing tetaplah anjing, tidak ada yang membedakan antara dirinya dan juga Diego.

Bersambung...

Hunting Dogs (End✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang