29. Rasa Bersalah

54 15 16
                                    

Cakra menjatuhkan tubuhnya di sana. Entah kenapa, rasanya ia telah melakukan kesalahan yang paling besar dari semuanya. Padahal jelas-jelas ia sudah terbilang sering dalam melakukan pembunuhan, tapi sekarang sangat berbeda. Hatinya merasa tersayat panjang dan terasa sangat menyakitkan, sampai-sampai Cakra rasa ia tak lagi kuat menahannya. Sakit di dadanya terus menusuk hingga membuatnya meremas lututnya agar rasa bersalah yang luar biasa itu tak lagi menghantuinya. Meski begitu, Cakra mencoba untuk tidak menangis karena ucapan Diego yang selalu menjadi penyemangatnya. Walau ia di luar terlihat tertekan dengan terpuruk sedikit saja, tapi di dalam sana ia menangis dan bertiak menahan sakit akan rasa bersalahnya yang teramat menyiksa.

Suara tawa Eldrick kembali membawa Cakra pada alam sadarnya. Membuat matanya liar mencari sosok Eldrick di antara kumpulan anjing yang juga tertawa. Namun, lebih pelan dari suara tawa Eldrick yang menggema. Sepertinya ia puas dengan apa yang Cakra lakukan dan membuatnya menertawakan Cakra yang terpuruk dengan perbuatannya.

"Kau puas sekarang? Sialan, sekarang tepati janjimu untuk melepaskan ayahku dan juga beri tahu aku di mana keluargaku berada." Cakra berjalan mendekat menagih ucapan yang sempat Eldrick tawarkan.

"Tenang saja, aku tidak akan melupakannya. Untuk Diego dan Roy, aku baru mendapatkan kabar dari anjingku kalau mereka berhasil dikelabuhi oleh Diego. Jadi, sekarang Diego dan Roy tak lagi dalam penawananku. Mereka sudah bebas," jawab Eldrick mengatakan yang sejujurnya. Karena ia benar-benar mendapatkan kabar bahwa anjing yang ditugaskannya di rumah Diego berhasil dikalahkan oleh Diego dan Roy.

Cakra menghembuskan napas bersyukur. "Lalu, di mana keluarga kandungku?" tanya Cakra lebih lanjut. Harapan akan temu sebentar lagi akan ia dapatkan.

"Keluarga kandungmu, ya? Sayangnya ...." Eldrick sengaja menggantung ucapannya dan mengisinya dengan tawa diakhir katanya.

"Ada apa dengan keluargaku? Apa yang kaulakukan pada mereka?" Cakra mengamuk dan berusaha meraih kelopak baju Eldrick, namun terlebih dahulu ditahan oleh dua ekor anjing tangan kanan Eldrick.

"Adaaa, tapi sayangnya yang kutemukan hanya ibumu saja. Ayah dan adikmu sudah terbunuh," ucap Eldrick yang membuat mata Cakra terbelalak dan membuatnya memberontak karena berpikir Eldrick yang melakukannya.

"Kau ...!" Cakra mengeratkan kepalannya meski tak bisa berbuat apa-apa.

"Tenang dulu! Bukan aku yang membunuh mereka!" terang Eldrick dengan tawa yang sukses ditahannya, "Soal Alby ... kau sendiri yang telah membunuhnya, Cakra!" tambah Eldrick dengan suara yang tiba-tiba terdengar menyeramkan.

Cakra kembali membulatkan matanya. "Apa yang kaukatakan, Sialan? Jangan bermain lagi denganku! Katakan siapa yang membunuh adik dan ayahku!" teriak Cakra dan kembali memberontak sekuat tenaga. Meski rasanya tangannya hampir putus karena dua anjing yang memegang tangannya terlalu kuat.

"Permainannya baru saja selesai, Althaf! Kau sendiri yang menyelesaikannya, kau sendiri yang membunuhnya." ucap Eldrick dengan mendekat ke arah telinga Cakra, "Dia, Anjing Kecil itu adalah Alby!" bisik Eldrick dengan liciknya dan kembali mengeluarkan tawa yang memekakkan telinga.

Tiba-tiba saja tubuh Cakra serasa melemas dan matanya seketika berembun panas. Bilang padanya kalau ia masih dalam permainan yang sama dan bukan ini akhir dari permainannya. Cakra tidak ingin mengakuinya kalau dia sendiri yang telah menghabisi nyawa adiknya. Sialnya, orang yang ada di sini menertawai kebodohannya yang dengan maunya membunuh saudara kandungnya. Membunuhnya demi orang yang dipanggilnya ayah dan itu pun tanpa ada aliran darah yang sama.

"Ku--kubunuh kau, Sialan!" pekik Cakra dengan mata merahnya menatap Eldrick dengan tajam dan seolah menghunus bagaikan pedang bermata dua.

"Ooh ... kau membuatku takut!" ejek Eldrick, entah sudah keberapa kalinya ia tertawa dengan mempermainkan Cakra seperti ini, "Tapi, apa kau tidak penasaran dengan orang yang membunuh ayah kandungmu? Seharusnya dia orang yang paling tepat yang harus kau bunuh, bukan aku!" tambah Eldrick seakan ingin kembali mempermainkan pikiran Cakra.

Ya, karena luput dengan kemarahannya, Cakra sampai lupa dengan siapa yang telah membunuh ayahnya. Seharusnya ia juga tahu siapa orangnya dan Cakra tak ingin membiarkannya losos begitu saja. Padahal Cakra di sini sudah berusaha untuk mencari tahu di mana letak keberadaan keluarganya. Tetapi, dengan bodohnya ia tidak mengenali keluarga yang sudah ada di sebelahnya dan justru Cakra telah membunuhnya. Sekarang Cakra tak ingin lagi melakukan kesalahan yang lebih fatal lagi dengan membiarkan orang yang membunuh ayahnya berkeliaran di luar sana. Cakra ingin menyingkirkan segera siapa orangnya, itu untuk menebus kesalahannya terhadap adik kandungnya. Ternyata ia selama ini salah karena telah mempercayakan foto keluarganya kepada tuannya. Tuan yang justru menjerumuskannya ke dalam kejadian barusan.

"Kau bisa menyimpulkannya sendiri siapa orang yang telah membunuh ayah kandungmu. Kenali dari Alby yang ingin membalas dendam terhadap siapa. Karena dendamnya itu berawal dari sana!" tutur Eldrick dengan entengnya tanpa memikirkan bagaimana perasaan Cakra.

Cakra kembali melemas dengan apa yang didengarnya, Cakra tak ingin membenarkan apa yang barusan ia dengarkan. Cakra tahu siapa yang Agil targetkan sebagai buruan pertamanya dan itu artinya pembunuh ayah kandungnya adalah ayah angkatnya? Cakra menumpukan berat badannya pada lantai dan membuat dua anjing yang menahannya melepaskannya. Eldrick juga mulai menginstruksikan pada anjingnya untuk segera pergi dari sana dan tinggalkan Cakra sekarang juga. Mereka semua patuh dan meninggalkan Cakra yang terpuruk di sana.

Cakra akhirnya merasakan bagaimana sunyinya dunia, ia sekarang sendirian tanpa ada suara gaduh sedikit pun. Air mata yang bertemu dengan lantai menjadi pengisi suara pelan di sekitarnya. Kesalahan Cakra jelas sudah terlalu besar, yaitu membunuh adik kandungnya untuk menyelamatkan pembunuh ayah kandungnya. Fakta akan dirinya yang menjadi orang yang membiarkan hidup pembunuh ayahnya bebas di luar sana membuat Cakra tak bisa lagi memaafkan kesalahannya. Pertanyaannya adalah, kenapa Diego? Kenapa harus Diego yang menjadi alasan dibalik semuanya? Alasan Cakra hidup sebagai pembunuh, alasan Cakra membunuh adiknya, dan juga alasan Cakra yang kini menyesali semua perbuatannya. Dunia seolah memberinya penghakiman yang tak ada keadilan. Cakra menjadi sosok terbuang dalam perannya menjadi makhluk paling penyedihkan.

Saat teringat akan Alby, Cakra berdiri segera dan berlari ke arah di mana dirinya tadi menghabisi nyawa adiknya. Cakra mengupas semua tong yang menghalanginya, tong yang tak terlalu berat itu mudah saja bagi Cakra untuk memindahkannya. Sosok Agil yang tergeletak dengan mata tertutup itu membuat embun di mata Cakra semakin memanas. Tak ada napas yang bisa Cakra rasakan ke luar dari hidung Agil yang membuatnya menangis sejadi-jadinya.

"Alby! Kenapa kau tidak mengatakan apa-apa? Kenapa kau diam saja? Seharusnya kau mengatakan padaku kalau kau adalah adikku, seharusnya kau mengatakan padaku alasan kau membidik Diego. Kau itu adik yang bodoh dan kau malah membodohiku juga. Dasar kau, Bocah Sialan!" umpat Cakra mengguncang tubuh Agil dengan pelan.

Cakra kemudian tertunduk dengan isakannya yang berusaha ia tahan. Tak perlu menyalahkan Agil untuk itu karena yang sejatinya perlu disalahkan adalah dirinya. Yang sebenarnya penyebab dari ini semua itu adalah dirinya sendiri karena gagal dalam membaca petunjuk Agil sejauh ini. Petunjuk yang Agil berikan berupa kata-kata yang bisa membuktikan bahwa mereka itu bersaudara. Seperti Agil yang tadinya sempat memanggilnya kakak agar tak saling melakukan perkelahian.

"Aaarrgggghhhh! Kenapa kau ini lama sekali, hah? Aku sudah lama menunggumu untuk memelukku, tapi kau belum juga melakukannya. Aku bahkan menahan napas untuk itu, kau ini memang tidak bisa mengerti aku, ya?!"

Suara itu membuat Cakra menghentikan tangisnya, apa dia sedang berpimpi? Kenapa Agil mengajaknya berbicara? Tidak, ini bukan saatnya untuk berhalusinasi. Cakra mengusap air matanya untuk memastikan kalau air matanya masih terasa panas. Itu artinya ia belum tertidur untuk mendapatkan mimpi aneh seperti saat ini.

"Al--by?!" Cakra mencoba bersuara agar dia tersadar dari halusinasinya.

"Hei, ini hanya bercanda. Aku masih hidup," teriak Agil dengan mengubah posisinya menjadi duduk, "cepat peluk aku, Sialan! Atau kau memang menginginkanku mati?" Suara Agil terdengar semakin meninggi yang membuat Cakra tersadar kalau ini memang bukan mimpi ataupun halusinasi.

Cakra menatap sekilas ke arah posisi di mana tadinya peluru Cakra pusatkan. Karena terlalu lama menangis, Cakra bahkan tidak menyadari kalau kepala Agil tidak terluka. Bahkan, noda darahnya pun tidak ada yang membuktikan Agil memang baik-baik saja. Detik berikutnya, Cakra menuruti kata-kata Agil yang memintanya untuk memeluknya. Entah apa yang sebenarnya terjadi, tapi Cakra tak mau peduli. Penjelasannya nanti saja sampai rasa bersalahnya memudar dengan memeluk adiknya ini.

Bersambung...

Hunting Dogs (End✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang