28. Perang Saudara

53 13 17
                                    

Agil menangkap pistol pemberian anjing itu dengan spontan karena dia memberikannya dengan lemparan. Dua anjing itu pun mundur untuk membiarkan Cakra dan Agil berdiri berhadapan. Agil mampu menangkap bagaimana tangan kanan Cakra yang menggenggam kerambitnya sedikit gemetaran. Sepertinya Cakra tak hanya takut dengan senjata Agil yang bisa menyerang dari jarak yang berjauhan. Namun, juga karena ia ragu dengan pilihan yang pada akhirnya sama-sama akan membawanya pada penyesalan dan rasa ketidakadilan.

Agil mengulum bibirnya yang terasa mengering sedari tadi karena disumpal. "Kita tidak akan melakukannya 'kan, Kak?" tanya Agil dengan pelan.

Cakra tidak peduli dengan perasaannya, ia justru mengubah langkahnya menjadi langkah siap. Kerambitnya ia rentangkan di depan wajah bersiap untuk menantang Agil yang belum menyiapkan langkahnya sama sekali. "Ayo! Lawan aku!" ujar Cakra dengan suara meninggi agar suaranya yang mulai parau tak terdengar jelas.

Agil mendengus kecil. Ia menatap sepintas ke arah senjata miliknya, kemudian mata itu liar menatap sekeliling dan memperhatikan apa saja yang mampu ditangkap oleh matanya. Sedari tadi matanya ditutup paksa dan tidak dibiarkan mengenali lokasinya saat ini. Jadilah sekarang baru Agil bisa melihat tempat di mana dirinya kini berada. Masih dengan posisi menatap sekelilingnya, Agil melemparkan pistolnya ke suatu lokasi yang sempat ia tangkap dengan matanya.

"Apa yang kaulakukan? Lawan aku, Bocah!" teriak Cakra lagi dan lebih mendekatkan langkah.

"Kau tau bukan, kalau aku ini mengendali pistol yang handal? Jadi, apa kau yakin kalau aku menggunakan benda itu kau masih bisa menyerangku satu kali saja? Tidak! Kau pasti akan langsung bertemu dengan penciptamu dan selesai sudah harapan gilamu!" ucap Agil dan menyingsingkan lengan bajunya agar ia lebih leluasa dalam mengatur gerakan.

Cakra mendecih dan mengeraskan rahangnya. "Apa yang kaupikirkan? Justru sebaliknya, tanpa senjata kau tidak akan bisa mengalahkanku, kau hanya akan terluka tanpa bisa menyerangku," kesal Cakra dengan berdiri kembali tegap, membatalkan posisi kuda-kudanya.

"Aku tahu itu, jadi lakukan saja sesukamu," sahut Agil dengan datarnya, "tapi, ingat! Jangan menyesalinya dikemudian hari!" imbuh Agil dengan suara yang jelas mengisyaratkan Cakra untuk berpikir lagi dalam tindakan yang diambilnya.

"Diam! Aku tidak akan menyesalinya karena gantinya adalah nyawa ayahku dan juga temu dengan keluargaku," pekik Cakra dan belum juga melancarkan serangannya.

Di sebelah sana Eldrick sudah kembali berdiri di depan anjing-anjingnya yang semula membetuk formasi melindunginya. Karena sekarang Agil sudah tak bersenjata. "Aku suka itu." Eldrick tertawa kecil menyaksikan perdebatan dihadapannya.

"Tuan, bagaimana kalau Anjing Kecil memberitahukan yang sebenarnya?" bisik satu di antara anjingnya.

"Tenang saja, Anjing Kecil itu akan tutup mulut. Lihat saja, dia tidak akan mengungkapkan siapa dirinya karena itu hanya akan membuat ibunya dalam bahaya!" jawab Eldrick dengan nada pelan agar Cakra tak mendengarnya.

Anjing itu mengangguk paham dan kembali memfokuskan matanya ke depan sana. Pertunjukan akan segera dimulai dan mereka tak ada yang ingin melewatinya sedetik pun. Perang antar saudara itulah yang ditunggunya. Perang yang belum pernah mereka saksikan secara nyata kini akhirnya akan terjadi juga. Memang tak jarang mereka disuguhkan dengan perang antar sesama mereka, tapi bukan antar saudara seperti ini.

"Kalau begitu, serang aku sekarang juga! Jangan hanya berbicara dan tunjukkan apa yang kau bisa." Suara teriakan Agil cukup menggema di ruangan itu. Ada nada paksaan yang cukup jelas dari bicaranya.

"Sempurna, ini yang aku tunggu-tunggu!" seru Eldrick dengan riangnya melihat Cakra mulai terbawa emosinya dengan menyerang Agil secepatnya.

Cakra jelas mengarahkan senjatanya pada Agil yang siap sedari tadi. Meski terlihat cukup termakan amarahnya, Cakra tak betul-betul mengarahkan senjatanya dengan sempurna. Serangannya mudah saja dihindari Agil dengan mengelakkan bagian tubuhnya yang dituju Cakra. Jelas sudah kalau sekarang Cakra tak baik-baik saja dalam mengikuti kata hatinya yang menginginkan kematian Agil. Ia sangat tertekan dengan pilihannya yang membuatnya tak terlalu berharap akan kemenangan. Pada dasarnya hanya harapan keluarganya akan baik-baik saja yang Cakra pikirkan. Cakra sepertinya mencoba untuk tidak peduli dengan nyawanya. Tetapi, masalahnya adalah kalau nyawanya berakhir, maka keluarganya tak akan bertemu dengan kata selamat. Hal itu yang mendominasinya sedari tadi untuk menyerang Agil, meski tidak dengan sepenuh hati.

Cakra kembali memberikan pusat serangannya ke arah wajah Agil yang sedari awal sudah membiru. Agil langsung menghindarinya dan berpindah tempat yang membuat Cakra mengikuti langkahnya ke mana saja Agil menghindar. Tak ada serangan balasan dari Agil sekali pun, hanya penghindarkan tubuh yang menjadi sasaran Cakra saja dan menangkisnya jika itu terpaksa.

"Kenapa kau tidak melawan? Ayo lawan aku! Serang aku, Sialan." Cakra mengayunkan kerambitnya ke sembarang arah karena emosinya semakin membara dengan Agil yang tetap diam saja.

Untuk itu, barulah akhirnya tangan Agil mendapatkan luka berupa sayatan yang menghasilkan sepercak darah. Agil berusaha untuk tidak meringis, melihat Agil terluka, Cakra mulai kehilangan konsentrasinya. Merasa ada kesempatan yang tercipta, Agil mencoba membalikkan keadaan. Untuk itu Agil memutar tangan kanan Cakra dengan setengah tenaganya dan memukulnya pada bagian jemarinya. Itu dilakukannya agar senjata di tangan Cakra bisa terlepas dari genggaman tuannya.

Tangan Cakra serasa tak beraliran darah dan membuat genggamannya melemah. Pada akhirnya senjata itu berhasil Agil jatuhkan dan menyikut Cakra agar menjauh darinya segera. Sebelum Cakra kembali menghadang, Agil secepatnya menendang kerambit itu ke arah yang jauh dari sana dan berhasil masuk ke dalam serbuk-serbuk kertas di sudut sana. Agil bisa memastikan kalau Cakra tidak akan bisa lagi menggunakannya, bukan karena tidak mungkin Cakra bisa menemukannya dengan mudah. Namun, karena keadaan waktu yang akan membuat Cakra memilih untuk terus menyerang meski tanpa senjata.

Cakra mengepalkan tangannya yang terasa sakit dan kembali menyerang Agil dengan brutalnya. Sekarang, kedua tangannya harus ia gunakan untuk memukul Agil dan tidak apa untuk tidak bersenjata karena Agil juga sama, tak bersenjata. Agil kembali menghindar dan terus menangkis serangan yang mengarah pada bagian wajahnya. Agil kembali tak menyerang dan membiarkan beberapa pukulan menimpa dirinya. Serangan yang menuju langsung pada bagian inti kelemahan saja yang Agil hindari, seperti leher dan ulu hati misalnya.

Sudah lelah dengan menghindari serangan Cakra yang bertubi-tubi, Agil akhirnya menyerah dengan membiarkan satu kali pukulan saja mengenai rusuknya. Agil tersedak dengan wajah tampannya yang sudah bertemu dengan lantai dasar. Sampai-sampai cairan merah ikut keluar bersama batuknya dan membuat dadanya terasa menyesak. Tetapi, itu bukan apa-apa baginya, dengan hanya mengelapnya sekali seka saja Agil langsung menunjukkan kalau dirinya baik-baik saja.

"Serang aku!" titah Cakra dengan menarik kerah baju Agil yang masih berada di posisi tergeletak di lantai.

Agil mencoba untuk tidak menjawabnya dan membiarkan Cakra meneriakinya sepuasnya. Agil bisa mengerti bagaimana beratnya Cakra dalam menyerangnya. Agil tahu Cakra terpaksa dan saat ini Cakra pasti merutuki dirinya sendiri karena tidak bisa berpijak pada keputusannya. Agil juga cukup mengerti dengan cara Cakra yang berusaha melindungi orang-orang berharganya. Dengan keharusan mengorbankan satu di antaranya karena ini adalah hidup dan matinya beberapa orang yang dia cinta.

Agil memutar lehernya menatap ke arah di mana senjatanya tadi ia lemparkan yang tak jauh dengan posisi mereka sekarang. Ada hal yang Agil pikirkan sedari tadi yang membuatnya sengaja menjatuhkan diri disekitaran senjatanya. Agil berusaha menjangkaunya dengan mendorong Cakra yang menindih tubuhnya. Dengan cepat Cakra menyadarinya dan menarik tangan Agil yang mencoba mencapai senjatanya. Cakra merebutnya dengan segera dan membuat Agil berpindah posisi secepatnya ke arah yang bisa menyembunyikan tubuhnya. Agil tampak menunduk di sekitaran tong-tong besar yang berada di belakangnya.

"Cakra! Akhiri sekarang juga!" teriak Eldrick di ujung sana yang tidak bisa menyaksikan pertarungan mereka dengan sempurna karena cukup jauh dari arahnya berdiri.

"Diam!" Cakra menodongkan pistol itu ke arah Agil dengan tangan yang setia bergetar. Mungkin, inilah akhir dari pertarungannya dengan menembakkan sekali saja pistol ke arah Agil yang tak bisa menyembunyikan tubuhnya dengan sempurna dibalik tong besar tersebut.

"Bocah, maafkan aku! Maafkan aku! Maafkan aku!" tutur Cakra dengan berusaha mengatur tangannya agar bisa terfokus pada bidikannya.

Agil menatapnya sekali saja. "Lakukanlah! Tembakkan senjata itu sekarang juga agar kau bisa menyelamatkan mereka!" perintah Agil yang mencoba menutup matanya.

Cakra berteriak dengan kencangnya dan membidik pada bagian kepala Agil. Pistol tanpa suara itu akhirnya berhasil Cakra tekan pelatuknya. Pistol yang Cakra tahu memiliki peredam itu jatuh dari tangannya setelah melihat tubuh Agil yang juga terjatuh di atas tong-tong besar sana. Sebagian dari tong tampak menggelinding ke arah tubuh Agil. Itu membuat sosok Agil hilang dibalik timbunan tong-tong tersebut.

Bersambung...

Hunting Dogs (End✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang