16. Cakra itu Munafik

78 19 8
                                    

Pagi-pagi sekali Cakra sudah mendengus karena mendapat panggilan dari Eldrick. Eldrick memintanya untuk datang ke markas mereka, dia berkata bahwa ada urusan penting dan itu bukan misi. Seperti biasa, dengusan Cakra tak sesuai dengan hatinya, sejujurnya ia sangat penasaran dengan hal menarik apa yang dikatakan Eldrick diluar dari sebuah kata yang bertajuk misi. Apa yang Cakra harapkan? Tentu saja tentang keberadaan keluarganya yang mungkin sudah Eldrick temukan.

Tak butuh waktu lama bagi Cakra untuk tiba di sana. Tampaknya memang hanya dia yang Eldrick butuhkan karena hanya beberapa mobil yang terparkir di parkiran. Jelas itu mobil milik anjing Eldrick yang berguna sebagai pengawal pribadinya. Mengambil langkah terburu, Cakra menaiki tangga dengan cepat dan melompati dua buah anak tangga setiap kakinya memijak.

Harapannya sirna seketika saat menemukan Agil juga berada di sana, berarti ini bukan tentang keluarganya, mungkin saja tentang kerjasama selanjutnya. Sepertinya Eldrick sengaja memancingnya datang ke markas dengan alasan masalah penting. Pasti bahasannya tak akan jauh dari kata misi, tak hanya hebat dalam perbuatan, Eldrick ternyata juga hebat dalam pancingan. Memancing Cakra dengan alasan yang ia bilang penting, bagi Cakra ini adalah hal yang memalukan.

"Apa?" tanya Cakra to the point, sebab hatinya merasa ditipu oleh Eldrick dengan mulut manis berbisanya.

"Ohoho, ayolah, Cakra! Duduk dulu, jangan terlalu terburu-buru. Sudah kubilang ini bukan tentang misi, jadi bersantai saja." Tangan Eldrick ia rentangkan pada kursi di sebelah Agil. Di sana Agil duduk dengan santai dan mulutnya yang setia dengan senyuman kekanakan khas miliknya.

Cakra mendilik sinis, ia mau-mau saja melakukannya karena ingin segera pergi dari tempat ini. Jika Cakra menolak untuk duduk berdampingan dengan Agil, maka tak tertutup kemungkinan Eldrick akan memaksa. Itu hanya akan membuang-buang waktu Cakra saja karena ia sangat-sangat tidak suka berada di sana. Bukan hanya tempatnya saja yang Cakra tidak suka, tapi dengan tawa Eldrick juga yang setiap kali berjumpa selalu terdengar memekakkan gentang telinga. Sampai-sampai Cakra merasa seolah Eldrick di sini tengah menertawakan dirinya. Seperti yang Cakra pernah singgung sebelumnya, bahwa ia tak suka orang tertawa tanpa ada kata lucu yang membuat seseorang bisa tertawa.

"Katakan! Jangan membuang waktuku di tempat sampah ini!" tegas Cakra saat kursinya baru ia duduki.

Lagi-lagi orang sialan itu tertawa. "Cakra! Cakra! Bukankah anjing suka mengorek sampah? Jangan lupakan kalau dirimu hanya seekor anjing peliharaanku!" tekan Eldrick dengan menatap tajam.

Cakra kali ini terdiam, kata-kata Eldrick ada benarnya, tapi tak sepenuhnya bisa Cakra benarkan. Karena Cakra hanya manusia berwujud anjing, bukan binatang itu sendiri. Bukannya Cakra mau direndahkan oleh Eldrick di sini, tapi mengingat posisinya yang hanya sebatas anggota yang ada dalam daftar anjing peliharaan Eldrick. Kalau bukan karena ayahnya, Cakra mungkin sudah memukul pria itu tepat di mana tawa yang selalu ia sunggingkan agar ia tak lagi bisa mengumbar tawa.

"Ini." Eldrick melempar sebuah kunci rumah ke arah Cakra yang menangkapnya spontan.

Alisnya tak bisa untuk tetap diam, Cakra mengangkat sebelah alisnya sebagai tanda bertanya. Itu jelas bukan kunci rumanya dan juga Cakra tak memerlukan kunci cadangan karena ia tak pernah lupa di mana ia menyimpan kunci rumahnya. Lagi pula, ukuran kunci yang ini lebih kecil dari ukuran kunci ruma Cakra saat ini.

"Seperti yang kuberikan kepada Diego, sekarang kau juga akan kuberikan rumah bersama rekanmu. Mulai sekarang mobilmu milik dia juga! Ini alamat rumah kalian!" terang Eldrick dengan mengulurkan secarik kertas berisi alamat yang ia sebutkan.

Cakra berdiri tak sopan dengan uluran tangan Eldrick yang tak ia hiraukan. "Aku akan tetap tinggal di rumah ayahku, berikan saja rumah ini untuk Anjing Kecil!" tolak Cakra dengan menaruh kunci rumah tersebut di atas meja.

"Kenapa?" Kini Agil mulai bertanya setelah sekian lama diam sebagai tegaknya.

"Karena aku mempunyai rumah!" jawab Cakra dengan entengnya, kakinya mulai ia gerakkan untuk meninggalkan ruangan yang serasa mengekang jiwanya.

"Kalau begitu, biar aku saja yang ikut tinggal di rumahmu! Pastinya ada kamar lain di sana yang bisa aku tempati," sahut Agil mencoba menahan gerakan Cakra.

"Tetaplah bermimpi selagi kau hidup! Sebab, jika kau menginjakkan kaki di rumahku, maka itu akan menjadi pijakan terakhirmu!" jawab Cakra seolah ia memang bisa melakukannya, tanpa mengetahui seberapa bisa orang yang ia tantang dengan mudah.

"I agree!" Eldrick kembali bersuara untuk memberi izin Agil tinggal di rumah Cakra, "Jangan lupa, rumah Diego juga pemberianku, jadi aku berhak memutuskan siapa saja yang bisa tinggal di sana."

Pada akhirnya Cakra tak bisa untuk tak berbalik badan menatap dua orang yang kini berdiri sama rata. Cakra kembali menapaki langkah yang sempat ia jejakkan pada lantai ruangan yang seolah memberinya tekanan. Ia membungkuk untuk mengambil kembali kunci rumah yanh tadi Eldrick hadiahkan. Selanjutnya tangannya mengayun ke arah secarik kertas berisikan alamat yang sempat Eldrick sodorkan.

"Aku terima rumahnya," ujar Cakra dingin, "Agil, ayo pulang!" ajak Cakra kemudian langsung setuju begitu saja. Karena baginya rumah yang ia tempati sebelumnya hanya untuk mereka bertiga saja, tanpa harus ada anjing lainnya yang bisa memijak di sana.

🐶🐶🐶

"Memangnya apa salahnya kalau aku tinggal di rumahmu? Bukankah tadinya kau menolak rumah ini?" Pada akhirnya pertanyaan yang belum sempat Agil utarakan akhirnya tersampaikan. Karena dari tadi mereka hanya membatu, bahkan untuk melihat seisi rumah pun tak ada yang ingin bergerak dan hanya diam di ruang tamu sambil menatap TV yang diam membisu.

"Karena kau tak pantas berada di sana, kau bukan keluarga kami!" terang Cakra tanpa berpikir terlebih dahulu.

"Ekhem ... kau itu bukan anak kandungnya Diego ataupun Roy bukan? Berarti kita sama saja, tidak ada yang sedarah satu orang pun."

Tawa sumbang Cakra mersembahkan pada ucapan sialan mulut Agil yang tak mengerti arah pembicaraan. "Meski aku bukan anaknya Diego, tapi aku adalah penggantinya dan hidup dibawah bayangannya selama ini, jadi dia adalah ayahku," tutur Cakra membenarkan apa itu keluarga yang sebenarnya baginya.

"Kalau begitu aku juga akan menjadi keluargamu, Kakak!" ujar Agil lagi-lagi bersikap kekanakkan. Juga dengan senyum menggemaskan yang ia tampakkan.

Cakra mendecih dan menggelengkan kepala jengkel, dirinya tergerak untuk berdiri meninggalkan ruangan yang terasa tak nyaman dengan pembicaraan. Cakra mendecih bukan karena tak suka dengan sikap Agil, tapi karena dirinya sendiri yang malah suka dengan sikap Agil barusan. Kalau saja Agil adalah anak berumur empat tahunan, maka Cakra tidak akan segan untuk membawanya ke dalam dekapan. Sikap Agil yang demikian hanya membuat Cakra berharap bisa merasakan bagaimana punya adik yang bisa diajak berbicara dengan diiringi canda. Sosok yang semoga bisa Cakra temui segera lengkap dengan ayah ibunya.

"Kau itu terlalu kekanakkan, ubah sikapmu agar lebih dewasa karena kau bukan lagi anak-anak. Meski aku pernah memanggilmu bocah, tapi seharusnya kau sadar kalau sikapmu itu sudah tak pantas lagi dengan umurmu! Jangan membuatku muak dengan sikapmu itu agar kita tetap bisa bekerjasama."

Inilah sosok Cakra yang sebenarnya, mengutarakan apa yang ia bilang suka dengan mulutnya, meski hatinya berkata tak suka. Mengutarakan apa yang tidak ia suka dengan mulutnya, meski hatinya berkata suka. Karena itulah Cakra menjadi sosok yang berbeda dari nyatanya, sosok yang katanya hanya Diego yang mengerti dengan tawanya. Tawa Cakra yang selalu dusta pasti diketahui oleh Diego semuanya, tapi tawa Cakra pada Diego adalah ungkapan rasa yang sesungguhnya karena ia memang mengaguminya sebagai sosok ayah.

Agil tampak tertegun sesaat, membiarkan sesuatu berkelana di benaknya, senyumannya sedikit tersirat lewat bibirnya yang terangkat. Ini bukan lagi tawa tanpa dasar seperti kemarennya, tapi senyum atas kemenangan yang ia rasa akan didapatkannya di kemudian. Hingga, suara pintu terbuka membuat benaknya kembali mencerna keadaan sekitar, yang mana Cakra sudah beranjak keluar dengan langkah kaki panjang yang tak bersuara saat bertemu lantai rumah. Meski setelahnya sosok itu hilang di balik pintu, tapi mata Agil masih setia memandu, menatap lagi dari kaca jendela tubuh yang terbalut tuksedo biru itu. Sekali lagi Agil tersenyum mengungkap bahagia dalam dirinya, ada sesuatu dalam benaknya dan hanya ia sendiri yang memahaminya.

Bersambung...

Hunting Dogs (End✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang