05

3.7K 692 12
                                    

Langkah Leo dan Ellysha berhenti tepat di pinggir danau. Dua orang itu menatap takjub pemandangan indah di depan mereka. "Luar biasa," gumam Ellysha yang tak dapat menyembunyikan raut kagumnya. Leo mengangguk setuju.

"Ayo duduk di sana, El!" ajak Leo dengan tangan yang menunjuk arah batang tumbang tak jauh dari mereka berdiri. Ellysha tak menjawab, gadis itu langsung berlari ke arah sana dengan wajah berseri.

Leo terkekeh pelan melihat tingkah Ellysha yang sedikit kekanak-kanakan itu. "Kau senang?" tanya Leo dengan sebuah senyum manis di bibirnya.

"Tentu saja! Aku selalu menyukai pemandangan indah dari sang alam, entah itu dari langit, lautan, pegunungan, hutan, ataupun danau di depan kita. Rasanya tak akan pernah bosan dan selalu menakjubkan!" Ellysha bercerita penuh antusias, membuat senyum Leo semakin lebar.

"Aku juga menyukainya," gumam Leo yang terus memperhatikan wajah antusias Ellysha. Ellysha menoleh. Matanya memicing menatap curiga Leo. "Kuharap kau akan bilang jika kau juga menyukai pemandangan alam."

Leo tertawa mendengar kalimat Ellysha barusan. "Memangnya kau berpikir aku akan mengatakan apa?" ujarnya dengan wajah geli.

"Menyukaiku."

"Memang."

-
-
-

Ellysha melotot. "Kau-"

"Apa salahnya? Aku tak pernah memintamu untuk ikut menyukaiku." Leo menghentikan tawanya, laki-laki itu kini sudah memasang ekspresi rumit.

Ellysha terdiam. Matanya terus menyorot mata Leo yang juga menatapnya. "Kau tahu? Umurku masih enam belas tahun. Aku belum ingin mengenal cinta dan sejenisnya."

Leo terdiam beberapa detik sebelum akhirnya tertawa terpingkal. Sebelah tangannya memegang perut.

Ellysha cemberut melihat respon Leo yang tampak mengejeknya itu. Tak dapat menahan rasa kesal, tangan Ellysha akhirnya melayangkan pukulan bertubi pada tubuh Leo. "Berhenti tertawa, sialan!"

"Baiklah-baiklah," ujar Leo masih dengan raut geli. Laki-laki itu sebisa mungkin menahan tawanya yang hendak lepas kembali. "Astaga, padahal aku hanya bilang jika aku menyukaimu, El. Aku tak pernah bilang aku mencintaimu loh."

Ellysha melotot sebelum melayangkan satu pukulan di lengan Leo. "Kau pikir dari mana sumber dari rasa cinta? Pasti akan ada rasa suka dahulu sebelum akhirnya timbul rasa cinta!" seru Ellysha dengan wajah kesal.

Leo tersenyum tipis. "Baiklah-baiklah aku kalah."

Ellysha berdecak. "Kalah dari apa?" gumamnya dengan suara pelan, "Sudahlah, ada yang ingin aku tanyakan padamu. Ini serius." Ellysha menatap tajam Leo.

Sebelah alis Leo terangkat. "Tentang apa?"

"Tentang buku sahargaratta, kalung kegelapan, dan ... kalung cahaya yang kau pegang." Ellysha memandang serius wajah Leo, hendak melihat respon yang akan Leo tunjukkan.

Namun, laki-laki vampir itu tak menunjukkan respon apapun, wajahnya tetap datar, seakan apa yang baru saja Ellysha ucapkan adalah hal biasa.

Leo diam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Sudah kuduga, cepat atau lambat kau akan menyadarinya." Leo menyeringai kecil. "Jadi ... Kapan kau mulai menyadarinya, El?"

"Cahaya rembulan yang waktu itu menyorot tiga tempat berbeda, buku sahargaratta, batu kegelapan dan satu lagi tentu saja itu adalah batu cahaya. Awalnya kupikir satu cahaya lainnya menyorot arah hutan, tapi setelah dipikir-pikir, sudut yang tercipta terlalu kecil untuk menyimpulkan jika cahaya itu menyorot arah hutan. Jadi, kemungkinan besar cahaya itu menyorot arah kalian yang sedang tertidur di tepi sungai. Lalu setelah kuperkecil kemungkinannya, maka kaulah jawabannya. Arah itu menyorot arah batu cahaya yang ada padamu." Ellysha menjelaskan panjang lebar. Tak ada keraguan dan candaan di wajah itu, hanya ada raut serius dan tatapan tajam.

Leo tak menjawab, laki-laki itu bergerak hendak mengeluarkan kalung panjang yang tersimpan di dalam bajunya. Begitu berhasil mengeluarkan kalung itu dari dalam baju, kini tangan Leo bergerak hendak melepaskan kalung itu dari lehernya.

"Kau ingat yang dikatakan tuan Voldes tentang pembantaian terhadap keturunan terakhir sang raja?"

Ellysha mengangguk. Ia menatap serius Leo, menunggu laki-laki itu melanjutkan bicaranya.

"Sebenarnya pembantaian itu terjadi lagi tiga puluh tahun yang lalu, dan ibuku adalah keturunan terakhir yang selamat."

Mata Ellysha langsung membulat begitu mendengar kalimat dari Leo. Sebelah tangannya menutup mulutnya yang menganga. "Jadi, iu artinya kau ...."

Leo berdecak. Ia memalingkan wajah kesalnya. "Itulah mengapa aku sangat menghindari keluarga kerajaan. Dan aku yakin sang raja sudah mengetahui hal ini."

"Tunggu dulu! Jika sang ratu menjadi dalang dibalik kehancuran yang terjadi di dunia Arsga, lalu bagaimana dengan sang raja? Apa dia membantu sang ratu?"

Leo kembali mendengus. "Ratu meracuninya. Kakek tua itu memang sangat keras kepala. Padahal aku sudah bilang untuk tidak terlalu mempercayai ratu sialan itu!"

Sebelah alis Ellysha terangkat, ia pikir Leo membenci raja karena menempatkannya di sisi Luke. "Jadi ... saat ini ratu memegang penuh kepemimpinan di dunia Arsga?"

"Ya begitulah." Leo menjawab acuh. "Sudahlah, ayo kembali." Leo melompat dari batang kayu yang tadi didudukinya.

"Hey kau kan belum menjawab pertanyaanku!" Ellysha berseru kesal.

"Kujawab lain kali saja. Sekarang ayo kembali," ujarnya dengan tampang malas.

"Tidak mau! Jawab dulu pertanyaan!" Tangan Ellysha terlipat di depan dada, wajahnya cemberut menatap Leo.

Leo menghela napas pasrah. Ia kembali duduk di samping Ellysha. "Baiklah, jadi apa pertanyaanmu?"

Ellysha tersenyum lebar melihat Leo yang kembali duduk di sampingnya. "Apa hubungan ketiga benda itu, Leo? Kenapa cahaya bulan menyorot tiga benda itu?"

Leo diam sejenak memperhatikan wajah Ellysha. Vampir laki-laki itu menghela napas pelan, sebelum berujar, "Akan kuceritakan. Tolong dengar baik-baik, karena tidak akan ada pengulangan, mengerti?"

Ellysha mengangguk antusias menjawabnya. Gadis itu sudah mengambil posisi nyaman untuk mendengarkan cerita Leo.

PETUALANGAN DUA DUNIA (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang