32

2K 366 35
                                    

"Sial! Sial! Sial!" racau Ara yang tengah menahan amarah. Sebelah kaki gadis itu tak henti-hentinya mengetuk lantai. Kuku-kukunya masih setia memetik satu sama lain. Ara sangat marah.

Berbeda dengan Rai yang tampak tenang, larut dalam pikirannya. Laki-laki vampir itu terus berusaha untuk tidak terbawa amarah, dan mencoba memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi dari apa yang tadi ia alami.

"Apa ... itu artinya Ellysha dalam bahaya?" tanya Luke ragu-ragu, takut menyinggung perasaan Ara dan Rai yang notabenenya sangat terobsesi pada Ellysha.

Ara menoleh dengan wajah marah. Matanya melotot garang. "Tentu saja!" seru gadis itu dengan nada tinggi. "Jika bukan kita yang menyelamatkan Ellysha, lalu siapa-"

"Tidak."

Semua orang kompak menatap Rai yang baru saja memotong ucapan Ara. Laki-laki vampir itu masih diam, membuat semuanya jadi penasaran dengan kalimat yang akan ia ucapkan.

"Kau ingat bagaimana reaksi wanita tua itu tadi saat Ellysha dibawa pergi oleh orang lain?" Rai melemparkan pertanyaan pada Ara.

Mendengar itu, Ara semakin terdiam, menjelajahi ingatannya beberapa menit lalu. Saat dimana Ails memohon-mohon pada Rai untuk membawanya pada Ellysha. Saat itu Ails tampak tak khawatir sedikitpun. Wanita tua itu bahkan tampak sangat menyebalkan, mengaku-ngaku jika Ellysha sangat membutuhkan dirinya. Rasanya ingin sekali Ara memukul kepala Ails. Agar wanita tua menyebalkan itu sadar akan posisinya yang bukan siapa-siapa untuk Ellysha.

"Kemungkinan besar, Ellysha tak dibawa secara paksa," jelas Rai dengan tatapan yang terarah pada teman-temannya. "Aku yakin yang membawa Ellysha adalah seseorang yang Ellysha kenal. Karena jika Ellysha dibawa secara paksa dan terjadi kekerasan, maka wanita tua itu tak akan meminta kita membawanya dengan alasan 'Ellysha membutuhkan dia'. Pastilah alasannya 'Ellysha dalam bahaya'."

"Tapi itu tak mengubah fakta jika kita terpisah dengan Ellysha. Dan tak ada yang menjamin jika Ellysha tak sedang dalam bahaya!" ujar Ara yang tak setuju dengan raut tenang Rai. Sebagai seseorang yang sudah menghabiskan waktu bertahun-tahun lamanya bersama Ellysha, tentu Ara tak bisa untuk tidak khawatir pada Ellysha. Apalagi, Ellysha bagi Ara adalah dunia. Tanpa Ellysha, Ara tak akan bisa hidup. Karena Ellysha adalah segala-galanya.

"Lantas kau ingin bagaimana?" tanya Rai dengan wajah kesal. Karena jujur saja, Rai sudah berusaha sekuat mungkin untuk bisa tetap tenang agar dapat berpikir jernih. Melihat Ara yang sedari tadi marah-marah tidak jelas, membuat emosinya jadi terpancing lagi.

"Tentu saja mencari Ellysha!" jawab Ara menggebu.

"Kemana?" Nada dingin Rai ditambah tatapan tajamnya, membuat nyali Ara langsung menciut. Ara tentunya tak lupa bagaimana menyeramkannya Rai saat dalam keadaan murka.

Ara berdecak. "Lalu kau ingin aku bagaimana?" Ara memasang wajah kesal, menutupi perasaannya yang sebenarnya tengah khawatir akan melihat Rai kembali murka.

"Kita selesaikan urusan kita di sini!" putus Rai yang tak berani dibantah teman-temannya.

***

"Menikah?" Ellysha menatap tak percaya ketiga orang tua di depannya. "Kalian gila?! Umurku masih enam belas tahun. ENAM BELAS TAHUN!"

"Tenanglah, Nak-"

Ellysha menoleh, ia menatap nyalang Lyen yang berusaha menenangkannya. "Tenang kau bilang?" Ia tersenyum sinis. "Tak kusangka orang yang selama ini sudah kuanggap seperti pamanku sendiri-"

"Sepertinya kau salah paham, Nak. Kau tidak akan menikah denganku, tapi putraku-"

"Apa bedanya?! Kalian tetap memaksaku! Kau mengambil kebebasanku!!" Ellysha semakin murka, telunjuk gadis itu bahkan dengan kurang ajarnya menunjuk muka Lyen. Ellysha benar-benar marah, ia melayangkan tatapan kebencian pada Lyen dan kedua orang tuanya.

"Ellysha, dengar dulu, Sayang. Kau tak akan menikah sebelum umurmu tujuh belas tahun. Kita hanya akan mengadakan pertunangan-"

"GILA! KALIAN SEMUA GILA!!" Ellysha berteriak frustasi. "AKU TIDAK MAU MENIKAH!! TIDAK MAU!!!" Ellysha langsung berlari ke kamar setelah menyuarakan teriakan frustasinya itu. Emosinya benar-benar sudah berada di puncak. Ellysha tak sanggup jika terus berada di sana.

"Ellysha!"

"Ellysha tunggu!"

Ellysha yang selama ini masih belum ingin merasakan yang namanya cinta, tiba-tiba dipaksa untuk menikah dengan seseorang yang bahkan belum pernah ia lihat sekalipun. Meski sangat dekat dengan Lyen, tapi Ellysha tidak pernah bertemu dengan anak pamannya itu. Dan hal itu membuatnya semakin frustasi. Apalagi ditambah dengan fakta-fakta yang baru ia ketahui tadi, rasanya Ellysha akan menjadi gila.

"Ugh, menyebalkan!" Ellysha mengerang frustasi. Tangan pucat gadis itu meremas-remas rambutnya untuk mengurangi rasa sakit kepalanya yang tiba-tiba muncul. Matanya memejam kuat untuk menahan air mata yang hendak tumpah. Karena selain marah dan kecewa, Ellysha juga takut. Entah apa yang ia takutkan, Ellysha pun tak tahu.

Mengingat betapa kayanya Lyen, tentu masa depan Ellysha akan terjamin. Apalagi melihat perlakuan Lyen padanya, sudah bisa dipastikan jika Ellysha akan baik-baik saja, bahkan bahagia. Namun, rasanya seperti ada penolakan tersendiri dalam diri Ellysha. Penolakan yang memaksanya untuk berkata "tidak" saat pertama kali mendengar kata pernikahan yang tadi Lyen ucapkan.

Buk!

"Menyebalkan!" gumam gadis itu setelah memukul meja belajar di depannya. Mata Ellysha yang sedikit merah mulai menampakkan tatapan tajam.

Tunggu dulu, jika diingat-ingat, waktu itu sempat ada anak laki-laki yang menemuinya. Anak laki-laki sok keren dengan dua bodyguard bersamanya. Jika tidak salah, namanya ... Mike? Entahlah, Ellysha tak begitu ingat. Tapi yang pasti, Ellysha sangat yakin jika anak itu menggunakan mobil yang sering Lyen gunakan.

Apa jangan-jangan ... dia putra dari pamannya, Lyen si brengsek itu?

Kepalan tangan Ellysha seketika langsung menguat. Matanya dipenuhi dengan tatapan kebencian. Ellysha sangat yakin, anak itu pasti ikut andil dalam kasus ini. "Bajingan!"

Ellysha langsung mengalihkan tatapannya pada kantong hitam yang sempat ia curi dari seorang pelayan. Vie tak mengambil kantong itu darinya, karena ia yakin jika Ellysha tak akan bisa menggunakannya. Seringaian licik seketika muncul di bibir indah Ellysha. Dengan kantong ini, bukankah Ellysha bisa pergi kemanapun yang dia inginkan?

Ya, Ellysha akan pergi dari rumah ini. Ellysha tak peduli jika dia akan dicap sebagai anak durhaka karena membuat kedua orang tuanya ingkar janji. Yang jelas, Ellysha belum mau menikah. Ellysha masih ingin menikmati masa remajanya yang indah.

Ellysha bangkit dari duduknya, ia diam beberapa saat, tengah berpikir. Tak lama setelah itu, wajah Ellysha mulai serius. Perlahan tapi pasti, Ellysha mulai mengambil serbuk di dalam kantong yang ia bawa. Melemparkan serbuk itu ke tanah, sekaligus membayangkan tempat yang ingin ia tuju. Tiga detik kemudian, penampakan Ellysha sudah lenyap. Ellysha telah berteleportasi.

PETUALANGAN DUA DUNIA (Lengkap)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang