5. Spite

2.4K 198 9
                                    

Januari, hujan sehari-hari. Bulan dimana air menggenang tanpa pandang rendah tinggi. Ketika air langit tak ada hentinya menangisi bumi. Sementara perempuan yang tengah menatap rintik dari kejauhan itu masih berpikir keras. Kenapa? Kenapa? Kenapa?

Ingin rasanya dia menjadi manajer operasional di perusahaan pertambangan dimana temannya kerja. Yang kerjanya hanya diam, mengawasi, sampai akhirnya cosplay seperti bawahan yang mengambilkan air untuk membantu staffnya. Saking gabutnya dia di sana. Namun, meski gajinya tidak perlu dipertanyakan lagi, sampai dua digit, tapi apalah artinya kalau jiwa kehilangan kebebasan untuk melakukan sesuatu yang awalnya menjadi sebuah mimpi. Rasanya hambar. Apalagi harus jauh dari keluarga. Ya meskipun sekali pulang bisa libur sampai satu bulan. Uangnya bisa digunakan untuk berkeliling luar negeri. Bisa digunakan untuk beramal sana-sini, nyatanya kebebasan tetap menjadi hak mutlak setiap insan. Selalu kenyamanan yang dicari.

Apa Dinda kerja di Indonesia bagian Timur saja, biar mati bosan dia di sana? Tapi setidaknya, dia tidak makan hati di sini.

Tadi pagi dia ditelfon Nita, diminta untuk menemui Pak Dani selaku sang direktur keuangan PT Royal Developer Tbk. Namun saat didatangi, sekretarisnya mengatakan kalau beliau sedang meeting dengan jajaran direksi. Okay, Dinda kembali ke ruangannya. Yang sesaat kemudian juga schedule-nya untuk interview calon karyawan baru rekomendasi oleh Adit karena kemarin ada yang datang kepadanya secara pribadi dan mengajukan surat pengunduran diri. Beruntunglah itu orang bawaan Adit. Kekuasaan orang dalam memang tidak perlu diragukan lagi. Mungkin itu juga tercetusnya cita-cita menjadi orang dalam biar bisa membantu saudaranya yang lain.

Selepas interview dengan beberapa kandidat yang akan ditempatkan pada sub operasional, Dinda kembali menuju ruangan Pak Dani. Kebetulan hampir jam makan siang, beliau sudah kembali di ruangannya.

Begitu mendapat izin dari sang sekretaris, Dinda mengetuk pintu, masuk, mengucapkan salam, " Permisi, Pak."

"..."

Okay, Dinda juga tidak butuh balasan orang satu ini. "Ada perlu apa Bapak memanggil saya?"

"..."

"Sabar, Din, Sabar." Perempuan itu menarik nafas sedalam-dalamnya, lantas mengembuskannya perlahan. "Maaf Pak, saya ada janji di jam makan siang."

"So, berharap saya melepaskan kamu?"

Alis Dinda terangkat sebelah, menatap penuh tanya lelaki yang sepantaran dengan kakak laki-lakinya ini, atau lebih tua beberapa tahun.

"Siapa yang memberimu hak untuk pergi liburan kemarin?"

What the?

"Jangan mentang-mentang suami kamu orang nomor satu di sini terus kalian bisa seenaknya. Sudah tahu banyak kerjaan. Untung tidak mati waktu insiden!"

"Bapak menyumpahi suami saya?!" tanpa sadar suara Dinda agak memekik, belum apa-apa Pak Dani sudah berbicara seperti itu.

"Lhoh, saya bicara apa adanya. Untung tidak mati, kan?" Pak Dani terseyum, niat nian mengejek perempuan muda di depannya ini. "Atau saya balik, masih untung tidak langsung mati!"

"Pak Dani!" Dinda menggeleng tak habis pikir. "Saya dan suami saya menghormati Bapak karena Bapak lebih tua dari kami."

"Menghormati? Menghormati dengan cara apa?" belum sempat menjawab, Dinda didahului dengan wajah tak bersahabat yang Pak Dani tampilkan. "Dengan mengambil jabatan yang seharusnya tidak diterima? Dengan mengambil tanggungjawab yang bukan seharusnya?"

"..."

"Saya yang membangun Royal bersama Pak Surya, ayah saya. Tapi laki-laki itu tiba-tiba datang dan merebut semuanya."

Go Went GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang