Rani masih antara percaya dan tidak percaya melihat sahabat karibnya bisa berjalan sejauh ini. Pagi tadi dia terkejut mendapati telfon. Dan begitu sampai, mencelos hatinya melihat putri Mama Rina terduduk lesu memanfaatkan koper di Terminal 3, arrival area.
Sayangnya, Rani yang sudah berpikir kalau Dinda akan menangis-nangis di hadapannya, justru tidak ada yang seperti itu. Dinda tetap bersikap seperti biasa. Wajahnya juga tidak menunjukkan orang ingin menangis sama sekali.
Saking khawatirnya sahabatnya ini terkena mental, Rani sampai harus meyakinkan dirinya sendiri. Pasalnya, Dinda justru makan roti bakar isi choco church tanpa henti sedari tadi. Kalau Rani stres memang larinya makan. Kalau Dinda, perempuan itu lebih suka kerja sampai kelelahan setelah itu berakhir ketiduran.
"Mak?" Rani menyikut lengan Dinda cukup kasar, "si Bapak nyakitin lo sampai mati rasa, ya?"
"..."
"Lo bisa diabet kalo gula mulu. Keluarga lo ada riwayat. Udah sih makannya!"
"Kalo di sana, gue nggak diizinin makan beginian." Dinda menyomot jempolnya.
"Ya iyalah, suami sultan, istri makan kayak rakyat ngepas UMR di Cikarang!"
"Mendingan mereka punya rumah." Balas Dinda masa bodoh.
"Ya nggak usah curhat juga, Mak. Nggak dikasih rumah, lo punya uang, bangun aja sendiri."
"Mau dikontrakin setan?" Dinda menatap Rani seperti mengajak orang perang.
"Kawin lagi kan bisa, sama Rama yang masih menjomlo atau yang dulu-dulu deretan anak menteri yang nguber lo terus? Si Sania masih ditanyai soal lo tau. Mayanlah, hidup lo pasti terjamin kalo milih salah satu dari mereka. Ntar produksi anak yang banyak, biar nggak sepi-sepi amat."
"Gue ke sini mau sekolah. Suami gue masih utuh, bisa-bisanya ngomong gitu."
Rani tersenyum miris. "Terus kenapa lo kabur ke sini?"
"Gue nggak kabur."
"Nggak kabur! Tapi ngumpet!" sindirnya
"..."
"Kan-kan muntah, kan!" Rani meringis melihat muka Dinda yang memerah. "Apa gue bilang! Dibilangin dari tadi mangap mulu mulutnya!"
Dinda yang sudah membekap mulut melipir ke kamar mandi. Semua makanan yang masuk seharian ini seakan keluar semuanya.
"Makanya deh istri sultan nggak usah sok makan kayak rakyat macem gue. Nggak tawar perut lo. Nih minum!" Rani melanjutkan hujatannya saat Dinda keluar dari kamar mandi seraya mengulurkan botol air mineral.
Dinda menerima air mineral yang masih disegel itu, kemudian mengembalikannya pada Rani. "Bukain."
"Hilih, bayi! Buka tutup botol air mineral aja nggak bisa. Bisanya apaan coba?"
"Bikin bayi." Dinda menyahut tak acuh dan segera meneguk air dari botol yang kembali diulurkan oleh Rani.
Rani jadi berpikir. Betul juga? Ah sudahlah. Memang mereka bertiga ada yang benar?
"Omong-omong, sebelum pergi kesini udah mastiin nggak lagi hamil, kan?"
Untung Dinda sudah meneguk airnya, kalau tidak, dia semburkan juga lama-lama ke wajah Rani. "KALO GUE HAMIL YA NGGAK BAKALAN MINTA CERE, RANIAKKK"
Rani tertawa puas melihat wajah masam yang berpadu dengan pekikan kasar milik Dinda. "Berarti otak lo masih jalan."
Perempuan itu hanya balas memutar bola matanya malas.
"Lagian ngadi-ngadi aja minta cerai. Keenakan kubu sebelah entar, merasa menang. Hartanya Riza kan atas nama lo semua, biarin aja, nggak usah banding."
"Yang gue pengen ada di draft semua."
KAMU SEDANG MEMBACA
Go Went Gone
RomanceALUR LAMBAT, TIDAK JELAS, BERTELE-TELE. SO, JANGAN DIBACA [SEQUEL OF HUMAN DISEASE] You are going to live as long as you can. So, let's live a thousand years again. *** Any similarities of characters, times, places and events, unintentional. Image...