53. Another Level of Broken Heart

1.8K 101 8
                                    

DISCLAIMER

Sekali lagi, part ini nggak ada scene Dindanya, lebih banyak bahas Riza dan keluarganya sendiri.

Jadi, yg nunggu Dinda, bisa tunggu update next chap aja kalo saya langsung update di wp

***

Usai pembicaraan yang agak tidak mengenakkan itu, Riza langsung undur diri dari kamar Adit, hendak pulang ke Tebet jika jalurnya sudah bisa dilalui. Tak ada gunanya juga dirinya tetap di sini.

Namun, sampai di ruang keluarga yang berada di lantai dasar, Riza malah mendapati papanya Adit sedang berbincang ringan dengan Gaga, plus suguhan kopi hitam di depannya. Suguhan wajib bagi Gaga setiap hari-yang kalau sampai tertinggal, mengeluh pusing pada sang istri. Padahal, terlalu banyak mengonsumsi kopi setiap harinya, juga tidak baik.

"Lhoh turun juga, Dek? Sini, ngopi-ngopi dulu." Kata papanya Adit ketika melihat Riza hampir mencapai anak tangga terakhir-namanya Abah Jamal. Abah sejutanya empat serangkai sedari bocah.

Gaga cuma berdecih tanpa kentara ke arah Riza. "Badannya udah remuk, Bah. Udah nggak mampu minum kopi," adunya tanpa pikir panjang. "Terlalu jompo dia."

"Lhah ya wong ada lambung, Dek. Abah ada cold brew sama very dark roast. Masih aman, kan?"

Riza meringis tak enak hati. "Belum sarapan tadi, Bah."

"Oalah. Ya sudah, sini lhoh, ngobrol-ngobrol dulu. Atau mau sarapan di sini? Jangan telat-telat makannya. Nggak keburu pergi, kan? Wong kamu yang paling jarang main dari dulu. Belajar terus kerjaannya. Eh abis belajar, tau-tau nikah."

"Abis belajar teori, langsung praktek, Bah. Nggak pake lama."

Gaga sengaja menimpali, agak kesal juga didepak dari kamar Adit. Padahal, Gaga masih ingin memberi pelajaran pada Vicky tadi. Ya meskipun bukan tempatnya Gaga juga untuk menghukum Vicky. Namun, perbuatan Gaga tadi sebagai bentuk perwakilan dari bapak-bapak yang ingin memukuli Vicky. Masih mending Gaga cuma memukul, Vicky pernah dibawakan celurit oleh salah satu bapak mantannya yang sampai hamil dan berakhir luruh di bulan keempat-ketika mereka hendak dinikahkan-dan berakhir batal di tempat karena bapaknya tidak setuju putrinya dinikahi Vicky-yang menurut beliau-bukan lelaki baik-baik.

Teman-temannya yang lain bersyukur dengan Vicky yang masih hidup sampai sekarang, kepalanya masih menempel pada badan, tidak ingin ditebas oleh bapak mantannya lagi. Meskipun Vicky ini suka membuat ulah sedari dulu, teman-temannya tetap loyal sampai mati.

"Betul itu, praktek tanpa teori ya tumpul. Ilmu sebelum menikah itu harus. Wajib. Wajib belajar. Setelah nikah pun, harus tetep belajar." Abah kembali menyahut.

Riza tak menggubris sindiran Gaga, langsung menyalimi papanya Adit, mencium tangannya. "Keadaannya gimana, Bah?"

Abah Jamal malah tertawa, tatapannya agak menerawang ke langit-langit, mengabaikan lampu Kristal mewah yang menyilaukan matanya di tengah ruangan. "Ya begini Dek sejak ditinggal sama ambuknya Adit. Dikit-dikit bengek. Pantes ya papamu dulu langsung drop, gampang sekali collapse-nya. Berat ternyata. Abah pikir, ada Diana bisa bantu dikit-dikit, tapi kenyataannya malah mempersulit juga. Diana nggak mau jagain kalian, apalagi kamu Dek, yang jelas-jelas pegang kunci warisan keluarga."

Calon papa ini hanya mesem, tak tahu juga harus merespon bagaimana. Lidahnya kelu hanya sekadar untuk mengucapkan sepatah kata. Tak semua masa kecilnya yang indah dapat dikenang.

"Kamu, keadaannya gimana, Dek? Abah denger dari Adit, sempat drop lagi." Abah Jamal memandang Riza, tapi yang ditatap, tak kunjung juga membalas tatapannya.

"Baik, Bah."

"Kalau terlanjur nyangkut satu penyakit, tapi kita sebagai penghuni badan nggak aware, ya begini. Jompo. Pikiran dikit sakit, pikiran banyak, udah... Nggak tau mau jadi apa. Syukur-syukur nggak lewat."

Go Went GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang