Hari demi hari terlewatkan begitu saja hingga membentuk minggu dan berakhir di ujung bulan. Kalau dihitung-hitung, Riza pergi sejak tahu Dinda hamil berusia dua bulan dan sampai sekarang, kehamilannya sudah menginjak lima bulan berjalan atau lebih tepatnya 22 minggu.
Tiga bulan sudah Dinda tak mendapatkan kabar apapun tentang lelaki itu. Entah sehat, entah sakit, entah hidup, entah mati, Dinda tidak tahu, tapi Dinda ingin tahu.
Kalau kemarin hanya dua minggu sekali dia harus periksa ke rumah sakit-menghadap semua tim medis yang menanganinya, sekarang harus seminggu sekali.
Melelahkan bukan?
Namun, Dinda menjalani harinya seperti yang Milli katakan layaknya dia akan hidup 1000 tahun lagi meskipun akan mati esok hari.
Ada yang membuatnya bahagia akhir-akhir ini. Ketika dia sudah bisa merasakan gerakan malaikat kecilnya hingga membuat bagian atas perut yang seakan merambat ke dada terasa sakit. Tidak tahu kenapa, padahal gerakannya tidak terlalu keras. Dinda juga semakin kesulitan untuk berdiri sendiri dari posisi duduknya tanpa ada bantuan seseorang. Paha hingga pinggangnya sakit. Dulu waktu hamil si kembar, Dinda masih bisa tanpa sedikit-sedikit butuh bantuan orang. Hanya saja, dokter mengatakan kalau biasanya di kehamilan kedua memang ada yang kasusnya seperti Dinda. Jadi tergolong aman-aman saja. Namun, memang membuat aktivitas Dinda semakin terbatas.
Dokter perempuan yang tak lain bernama Dokter Ines ini terlihat seperti menekan perut Dinda di bagian atas, mencari posisi bayinya. "kakinya di sini, dia nendang, jadi di sini sering sakit." Kata beliau. "Kepalanya di bawah, udah mulai asyik dia."
Dinda tersenyum riang mendengar penjelasan dokter perempuan itu. Rasanya, harapannya tidak pernah padam. Dia hanya ingin melahirkan bayinya tanpa kurang suatu apapun meski nyawanya sendiri yang menjadi taruhan. "Dokter, nanti minta tolong rekamin lagi kayak kemarin, ya?"
"Okay. Kakaknya nggak diminta masuk?"
Perempuan itu mengerjap cukup lama, jadi berpikir sampai akhirnya tahu maksud dari Dokter Ines itu apa. Tadi, pikiran Dinda kemana-mana. Masak Dokter Ines menyebut Kakak, yang Dinda ingat Riza? Karenanya perempuan itu langsung menggeleng. Dinda jadi ingat kalau Riza setuju dipanggil Kakak tapi menolak di panggil Mas. Yah, Dinda juga tahu itu panggilannya Mitha untuk Riza.
"Nanti Kak Acha masuk, Dok. Telpon sebentar."
Beliau mengangguk selaras melakukan persiapan apa yang Dinda minta. Semua tim medis yang menangani Dinda sudah tahu keadaan perempuan itu dan sang ayah dari calon bayi bagaimana, jadi tak pernah sekalipun mereka membahas tentang suami dan apapun itu yang merujuk ke sana di depan Dinda demi menjaga perasaannya.
Dinda diam memandang perutnya yang menonjol. Fokus ke sana ketika Dokter Ines mengoleskan gel yang langsung ditemukan dengan tranduser. "Ini beneran nggak mau dikasih tahu jenis kelaminnya?" tanya dokter perempuan itu-dengan tatapan beralih ke arah monitor.
"Biar kejutan, Dok."
Meskipun tiap minggu Dinda periksa, setiap satu bulan sekali, Dinda selalu mengirimkan perkembangan bayinya pada Milli, lengkap dengan keadaannya juga. Kalau memang baik, Dinda akan terus terang baik. Tapi kalau ada masalah, Dinda tetap akan mengatakan yang baik-baik saja.
"Rajin minum vitamin sama obatnya kan, Din?"
Perempuan yang ditanyai hanya menyengir belaka. "Rajin,"
"Kalau dipaksa, Dok." Acha yang baru masuk, langsung menambahi.
Dokter Ines cuma geleng-geleng, kemudian menghampiri Dinda lantas melakukan prosedur untuk USG. "Aman buat baby-nya kok, Ma. Diimbangi minum air yang cukup, ya. Tidak boleh kecapaian sama sekali. Hasil tes darahnya kurang tadi. Kurangi bergadang. Makan makanan yang mengandung zat besi. Ini anemia, bisa memperparah kerja jantung kamu, efeknya ke baby juga kekurangan pasokan oksigen."
KAMU SEDANG MEMBACA
Go Went Gone
RomanceALUR LAMBAT, TIDAK JELAS, BERTELE-TELE. SO, JANGAN DIBACA [SEQUEL OF HUMAN DISEASE] You are going to live as long as you can. So, let's live a thousand years again. *** Any similarities of characters, times, places and events, unintentional. Image...