Pagi itu, Dinda merasa lega bisa melihat Riza sudah sehat dan menyebalkan seperti biasa. Wajahnya lebih fresh dari terakhir kali Dinda lihat. Jiwa workaholicnya yang mendarah daging juga sudah kembali. Begitu membuka mata di pagi hari langsung duduk, mengamati sekitar, termasuk mendapati Dinda yang tengah menatapnya dalam diam. Setelahnya bangun, minum, mandi, ibadah dan sibuk dengan MacBook-nya lagi. Hanya satu yang terlewatkan. Lari atau olahraga lainnya. Karena Dinda yang hidup satu atap dengan Riza sampai hafal kalau suaminya ini bisa dibilang gila olahraga. Setiap pagi, kalau tidak kesiangan, pasti Riza selalu menyempatkan diri untuk lari pagi.
Pagi itu juga mereka kembali ke Jakarta. Mereka pulang ke rumah Rina—mamanya Dinda karena Rina khawatir dan terus menanyakan keadaan Riza. Menantu kesayangan, tidak usah diperdebatkan lagi.
Sekitar pukul 10 pagi mereka sampai di Tebet, Jakarta Selatan. Rina yang memang sudah tidak bekerja menyambut anak dan menantunya penuh suka cita, layaknya mereka pergi bertahun-tahun lalu di sudut kota yang jauh sekali.
"Riza, Nak? Sehat?" tatapan yang penuh keteguhan itu membuat Dinda bergeming di belakang, menatap dalam diam bagaimana mamanya menciumi pipi sang suami. Sebegitu sayangnya. Padahal dia yang anaknya. Tapi malah Riza yang disayang-sayang.
"Sehat, Ma."
Rina menjauhkan wajahnya, menatap Riza nanar. "Nggak ada yang luka, kan?"
Yang ditanyai hanya menggeleng dan di saat itu Dinda memutuskan untuk masuk. Baru ada yang menyambut kedatangannya. Si Alan. Putra pertama Gaga dan Rara, yang sudah berusia lima tahun.
"Aunty, oleh-oleh, sate ayam?" katanya kegirangan. Dipikir Dinda pergi liburan.
Perempuan itu hanya tersenyum, membungkuk, menerima dekapan sayang dari keponakannya ini. "Tante kan tidak sedang liburan, Sayang."
"Masak?" tanyanya tidak percaya.
"Memangnya siapa yang bilang tante liburan?"
"Papi." Jawab Alan tanpa dosa, yang langsung membuat Dinda geleng-geleng. Belum jauh pembicaraan mereka, Rina dan Riza berjalan beriringan. Dinda lantas berdiri tegak, menerima gandengan Alan dan duduk di sofa keluarga. Koper mereka dibiarkan di dekat jendela dulu. Lagipula di atas masih ada pakaian mereka.
Alan. Bocah kecil ini suka sekali menyempil di tengah-tengah Dinda dan Riza. Entah saat mereka makan, tidur, duduk pun suka diapit mereka berdua. Karena itu, kalau Alan tahu Dinda dan Riza menginap, pasti heboh datang ke rumah neneknya, ingin tidur dengan om tantenya. Seperti sekarang ini, weekend, quality time.
Dinda yang jetleg karena malamnya bergadang menunggui Riza sampai Subuh—baru panasnya turun, hanya bersandar pada sofa, sesekali tersenyum saat diajak bicara bocah itu.
Sampai ganti mamanya yang heboh meminta mereka untuk sarapan yang sengaja disiapkan menurut jam kedatangan dari Semarang.
Sebagai bentuk penghargaan, Riza dan Dinda langsung pergi ke meja makan, makan bersama-sama. Setelah makan, sesekali tertawa mendengar celoteh Alan yang curhat dimarahi Rara karena suka main PS di rumah dengan bapaknya.
"Mami marah-marah terus. Kakak nggak boleh main PS sama Papi. Nggak dipinjami handphone buat telfon Tante. Nggak dibolehin main sama tante. Nggak boleh ketemu sama tante."
"Terus kalau dilarang, Kakak ngapain?" Dinda yang bersedekap dada di atas meja, bertanya, menanggapi dengan tatapan nanar.
"Laporin Mami ke Papi kalau Papi di rumah."
"Kalau nggak ada Papi?" Dinda bertanya lagi.
Alan menatap langit-langit dengan kaki bergerak-gerak, sedang berpikir. "Kakak bawa truck, terus pergi dari rumah deh. Tidur sama Oma."
KAMU SEDANG MEMBACA
Go Went Gone
RomanceALUR LAMBAT, TIDAK JELAS, BERTELE-TELE. SO, JANGAN DIBACA [SEQUEL OF HUMAN DISEASE] You are going to live as long as you can. So, let's live a thousand years again. *** Any similarities of characters, times, places and events, unintentional. Image...