AD.

558 36 0
                                    

Nemenin doi ke klinik gigi sampe tengah malem. Mendadak giginya sakit nggak tertahankan pukul set 9 malem, jam set 10 baru berangkat nungguin aing pulang

Lah U dari tadi ngapain aja mailop....

Hhh... Udahlah. Alhasil set 12 nyampe rumah.

Akhirnya jadi lah ini part. Semoga menghibur. Semoga juga enggak.

***

Mamah bilang, aku nggak boleh jadi neraka buat suamiku.

Pada awalnya, aku nggak paham maksud nasihat mama apa. Tapi waktu berjalan, aku paham.

Pernikahan bukan lagi medan yang mana aku bisa kabur seenak hatiku sendiri saat kami beda pandangan.

Pernikahan bukan lagi jenjang di mana saat aku takut akan sesuatu, aku pergi di sudut ruangan untuk melukai diriku sendiri karena takut ketahuan.

Dan lagi, pernikahan bukan lagi ajang adu nasib. Saat aku sakit kepala, suamiku sakit gigi, dan aku mulai membanding-bandingkan bahwa sakit kepalaku lah yang paling tajam. Sakit giginya tidak ada artinya.

Aku tidak paham kenapa harus berpikir seperti itu di awal, padahal Riza-begitulah aku memanggilnya-suamiku itu hanya tidak ingin masuk ke ruang pemeriksaan sendiri. Dia ingin ditemani.

Karena itu, aku menganggapnya lemah, rapuh, menggampangkan rasa sakitnya. Kalau dia bayi, akan dengan senang hati aku pangku.

Aku juga pernah sakit gigi, pipi kiriku bengkak, tapi aku hanya minum obat yang dijual bebas di drugstore, kemudian menangis sendirian saat obatnya tak kunjung bekerja. Tapi yang pasti, aku tidak pergi ke dokter. Aku menghadapinya seorang diri. Karena dulu, aku pernah sakit, mengeluh dan meminta bantuan, tapi sayangnya tidak didengar. Jadi lebih baik aku diam meski di posisiku saat itu akan ada uluran tangan.

Memang benar yang melakukan itu padaku hanya satu orang. Tapi... aku terlanjur kecewa karena dulu harapanku begitu besar. Saking besarnya, sekali dihancurkan, bukan aku saja yang hancur, tapi aku turut menyakiti orang di sekitar.

Tapi waktu itu, lelaki yang badannya bahkan dua kali lipat dari tubuhku, dia nampak tidak berdaya hanya karena pipi kanannya bengkak, impact giginya patah separuh ketika makan.

Dia sudah menahan rasa tak nyaman itu sejak sebulan lalu, mengabaikan rasa sakitnya sendiri dan terus bekerja.

Aku bisa tahu karena aku istrinya. Dia bercerita singkat bahwa giginya patah separuh dan sempat meminta obat yang biasa aku konsumsi saat sakit kepala.

Aku memberikannya, dan menyarankan dia ke dokter gigi langganan ku yang lokasinya di Pondok Indah. Namun, dengan keras kepalanya dia bilang ingin di Tangerang saja.

Menarik napas dalam, aku mencoba untuk mengerti bahwa terkadang manusia juga cocok-cocokan dengan sosok yang memeriksanya. Hanya saja, Riza sudah dewasa, dia bukan bayi!

Namun, sebelum aku membiarkan otak yang suka berpikiran negatif ini bekerja lebih jauh, aku berupaya keras untuk berempati.

Ayolah Dinda, lelaki yang tengah memegang tanganmu ini suamimu sendiri, bukan orang lain

Ya... Aku sedih suamiku sakit dan di sisi lain aku kesal melihatnya kesakitan. Masalahnya dia sendiri yang mencari penyakit. Sudah tahu giginya sakit sejak sebulan lalu, berangkat ke dokternya satu bulan kemudian, tidak sekalian saja setahun ke depan.

Itu memang sudah lama berlalu dan syukurnya dia tidak mengalami sakit gigi lagi. Atau mungkin pernah, sesekali, tapi dipendam dalam diam sampai rasa sakitnya hilang dengan sendirinya, seperti yang sering aku lakukan.

Go Went GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang