63. Embrace

754 61 9
                                    

Semampu saya ya temen-temen. Nguras energi betul. Semoga sedikit banyak, ngobati kerinduan kalian. Eeeeaaaaaa

***

Kak, kemarin aku mimpi di suatu tempat yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Hamparannya luas, warnanya hijau. Waktu aku jalan ke sumber cahaya, aku lihat Buk Ningsih sama istri kamu, dia berdiri, senyum, dinaungi bangunan yang indah banget. Ada taman cantik di depannya. Kalo istri kamu dinaungi bangunan itu, Buk Ningsih agak di luar bangunan, deket taman.

Rasanya aku udah manggil dia, mau aku ajak pulang buat ketemu kamu. Kamu pasti seneng banget kan kalo dia bener-bener bisa pulang. Tapi maaf, kayaknya dia nggak denger aku panggil, dia nggak bergerak sedikit pun dari tempatnya. Cuma senyum aja.

Eh tapi, aku manggil dia Mitha, bukan Maryam. Apa aku harus manggil dia Maryam ya lain kali, supaya nyaut kalo aku ajak bicara?

Ih... kok dia plek ketiplek kayak kamu sih, hobinya diem??? Aku sedikit nggak terima!

Aku penasaran. Dia pakai face wash merek apa, bersinar banget wajahnya? Waktu dia masih ada pun, aku suka lihat kulitku sendiri. Kok bisa kulitku udah putih tapi dia lebih putih.

Ya Tuhan, bisa-bisanya gini doang aku masih cemburu.

Abis itu udah deh, aku bangun. Aku kira, aku udah di surga waktu itu. Eh taunya bangun-bangun masih di kasur, sebelahan sama kamu. Hadeh...

Awalnya aku mau cerita sama kamu, tapi nggak jadi karena takut cemburu sendiri kalo liat kamu senyum-senyum nggak jelas karena inget dia. Ya udah deh aku simpan buat aku aja. Kamu nggak perlu tau. Semoga tangan kamu nggak sampai buka note ini ya. Mohon kerja samanya Tuhan

Tebet, 1 Mei 2022

Mengembuskan napas berat sedari tadi, akhirnya tercetak senyuman tipis di bibirnya yang tampak lebih berwarna daripada beberapa hari yang lalu. Tapi sedetik setelahnya, wajah lelaki itu kembali muram. "Tuhan di pihak suamimu, Din."

Milli yang setia menemani sang adik hanya mengamati dalam diam. Keadaannya memang jauh lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Hanya saja, rasanya masih saja tidak mudah untuk menghadapi ini seorang diri.

"Dek, mau tukar pikiran sama kakak?" tawarnya seperti biasa.

Gelengan lemah Riza beri sebagai jawaban. "Aku mau ketemu sama Mamah, kapan boleh pulang ya, Li? Suntuk."

"Sekarang banget?"

"Iya, tidak betah di sini. Mau cepat pulang. Mau tunggu anak istri saja. Ini sudah sembuh, ayo Li, izin pulang, mau mandi, gerah! Sumuk!" keluhnya seperti saat dirinya kecil dulu.

Lelaki ini memang lebih cerewet saat sakit. Sangat-sangat cerewet, apa-apa dikomentari, dokter tak kunjung visit pun dirinya keluhkan sampai dokternya pergi lagi.

Milli menahan tawa, "Za, kamu itu manusia, bukan pinguin. Ini suhunya udah 21, kakak rendahin lagi yang nemenin kamu di sini masuk angin semua."

Riza tidak berbohong, keadaannya jauh lebih baik dari sebelumnya setelah tepat dua minggu dirinya dirawat. Keadaan Dinda sendiri jangan ditanya. Perempuan itu tersadar di hari ketiga dan sekarang pun masih di ICU, belum boleh dikunjungi. Kalau lah berkunjung, Riza hanya bisa melambaikan tangan di depan jendela, begitupun dengan yang lain. Namun apapun itu, istrinya sudah jauh lebih baik perkembangannya. Dinda tak perlu kesakitan lebih tajam karena ventilator.

Soal gerah, semuanya tidak ada yang berubah sedari dulu. Dirinya memang terbiasa dengan suhu rendah. Hujan badaipun dirinya tidur telanjang dada.

"Sini-sini," Milli bangkit, menyeka titik-titik keringat di wajah hingga leher sang adik, kemudian mengipasinya dengan kardus air yang disobek asal.

Go Went GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang