21. One Day

2.3K 189 46
                                    

Jujur saja, Dinda sudah mengatakan niat untuk melanjutkan S2 pada Rina lewat panggilan telfon. Namun sekarang, Dinda ingin izin secara langsung pada sang mama. Rasanya tidak tenang saja kalau izin lewat virtual. Sementara Dinda sangat mampu untuk berkunjung ke kediaman mamanya.

"Di cabang Tebet kan ada. Kok milih yang jauh sih, Nak? Emangnya kuat LDR-an sama suami kamu?"

Dinda tertawa diledek seperti itu. "Mama ngeremehin aku." Katanya.

"Ya habisnya kamu ada-ada aja, ada yang deket milih yang jauh. Suami kamu kasihan ditinggal sendiri."

Dinda lagi-lagi tertawa saat kepalanya diusap oleh sang mama karena posisinya Dinda sendiri tengah tiduran di pangkuan Rina.

"Kan masih bisa ketemuan, Ma. Aku yang pulang atau Riza yang main."

Rina menggeleng tidak setuju. "Capek, Nak. Suami kamu nggak punya waktu buat istirahat kalau dikonsep gitu. Kamu juga nggak bisa fokus kuliahnya."

"Pas magang dulu buktinya bisa."

"Bukti Riza bisa jatuh sakit betulan kan maksud kamu?"

Dinda tersenyum miris, dia melupakan hal satu ini. Mamanya mengingatkan saja.

"Lagi pula, kalian nggak ada niatan buat punya momongan gitu? Kalau LDR, ketemu sebulan sekali, ini mah masih untung, jadinya kapan, Din?"

"Ya sejadinya, Ma. Orang belum dikasih, gimana dong?"

"Ya usaha yang rajin lah, kok tanya mama?" Rina jadi ikut tertawa.

"Mama udah mau punya 3 cucu tahu. Masih kurang? Belom nanti kalo Kak Acha hamil lagi?"

"Ya nggak papa punya cucu banyak, biar rumah rame." Satu usapan sayang kembali melayang. "Emang nggak pengen kayak kakak-kakak kamu? Nggak kesepian kalo ditinggal Riza sendiri? Kalo punya anak kan jadi ada temennya, Din. Ada yang dipeluk kalo tidur."

Ya tinggal peluk Riza, Ma

"Bisa merasakan nikmatnya hamil, melahirkan, menyusui, begadang tengah malam. Tuh, Kakak kamu dulu waktu hamil Alan sampe bener-bener bed rest berapa bulan coba? Dia menikmati, nggak susah sedikitpun mau tubuhnya sakit kayak apa."

"Tapi Kak Lala kemarin sempet dibawa ke RS gitu?"

"Orang hamil itu bukan sakit, Nak. Kalau kehamilannya rewel, kadang memang bawaan bayinya. Pernah denger kan ada orang waktu hamil kayak orang sakit parah, terus setelah melahirkan biasa-biasa saja, udah bisa ini itu."

Dinda mengangguk.

"Ya itu bawaan bayinya. Mama dulu punya temen kalau hamil pasti nggak pernah enggak, harus bed rest total sampai melahirkan. Kemana-mana pakai kursi roda, begitu bayinya lahir ya biasa lagi. Pas hamil lagi, kursi roda lagi. Ada juga yang aktif banget. Kayak cacing kepanasan, nggak bisa diem."

"Kok bisa gitu ya, Ma?"

"Buktinya bisa. Kamu belum tau waktu Tante kamu hamil Kak Aldi, kan? Ini kasusnya kayak mama, nggak tau kalo lagi hamil. Mamahnya Kak Aldi asyik aja olahraga. Emang dasarnya jago banget main voli, pas main voli jatuh, kakinya ke kilir dibawa ke rumah sakit khawatir kalau ada syaraf yang kejepit e malah dokternya bilang tante kamu hamil. Usianya 12 minggu kalo nggak salah, kata dokternya sehat, nggak papa."

Tanpa sadar, Dinda mengembuskan napas pelan. "Andai semua orang hamil kayak mamanya Kak Aldi. Pasti tenang, santai."

"Hm, kalo bisa milih. Tapi apapun yang dikasih sama Tuhan, gimanapun keadaannya, harus disyukuri. Pasti ada hikmahnya."

"Emang Kak Aldi nggak ada niatan buatin Qila adek, Ma?"

"Emang belum dikasih juga Din, nunggu Qila agak gedean. Kasian kalo masih kecil punya adek. Alan yang udah 5 tahun aja, Kak Lala masih nggak tega kalo apa-apa dibiarin sendiri. Dititipin kamu kan waktu Rara dibawa ke RS."

Go Went GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang