61. Track Record

921 72 13
                                    

Jika mau menghitung, maka sudah 6 kali Riza kehilangan putra-putrinya dengan kelahiran sebanyak 5 kali. Empat bersama istri pertamanya dan 1 (kembar) bersama istri keduanya.

Dan jika ada yang mengira lelaki itu mengharuskan istrinya melahirkan banyak anak tanpa peduli kesehatan istrinya maka ingatlah bahwa sedari awal Riza sudah meminta agar prosedur terminasi dijalankan.

Memang benar Riza menyukai anak kecil dan berkeinginan memiliki keturunan banyak. Hanya saja, lihatlah dirinya sekarang. Sudah menikah hingga dua kali pun, belum ada satupun putra maupun putri yang bertahan bernapas membersamainya hingga sekarang.

Entah dosa apa yang sudah dirinya lakukan.

Kalau lah orang-orang mempertanyakan bagaimana bisa Riza seburuntung itu dalam hidupnya sekarang, kaya raya, tampan-rupawan, keluarga lengkap-bahagia, cemerlang, bisnis dimana-mana, teman-teman yang loyal dan setia, maka ingatkan pula orang-orang untuk bertanya, apa-apa saja yang sudah Tuhan ambil dari kehidupannya selama ini.

Sebenarnya, hal semacam ini tidak perlu dijelaskan berulang kali.

Lalu apa?

Riza jahat kepada darah dagingnya sendiri?

Selalu seperti itu. Mau sebaik apapun manusia, selalu saja ada salahnya di mata orang lain.

Meminta istrinya mempertahankan kandungan dituding egois.

Meminta prosedur terminasi dijalankan dilabeli kejam.

Lalu Riza harus apa? Mati saja? Mungkin memang seharunya seperti itu.

Dan sekarang, lelaki itu tidak sedang beradegan di mana dirinya diharuskan memilih antara istri atau anaknya yang harus diutamakan. Karena sedari awal, Riza sudah memberi jawaban bahwa Dinda lah yang harus diutamakan.

Sebab itu, tak ada lagi yang bertanya padanya ketika sampai di rumah sakit. Istrinya langsung dirujuk ke sebuah ruangan, yang mana dirinya tidak dibolehkan ikut serta untuk menemani.

Dinda... istrinya itu... dasar keras kepala. Sudah dibilang jangan tidur, tapi istrinya itu tetap saja tidur dengan erangan lirih yang secara tak langusng mencekik semua orang hidup-hidup.

Bukan kah Riza tak sekali dua kali kehilangan seseorang yang dirinya sayang? Seharusnya dia sudah terbiasa bukan?

Oh ayolah... seharusnya dia tidak perlu takut atau apapun itu. Dia sudah terlalu sering kehilangan, jadi sudah biasa. Tidak perlu mengasihaninya. Tenang saja, dia sudah terbiasa menghadapi kehidupan seseorang di ujung tanduk seperti ini. Dia sudah terbiasa.

Jika mati di kubur, jika hidup tinggal melanjutkan hidup, selesai.

Hanya saja, itu semua tidak semudah orang berkomentar. Riza masih waras saja itu sudah sangat luar biasa. Tak ada yang tahu bisa sekuat ataupun bisa selemah apa mental lelaki itu.

Cito

Cito

Cito

Tak teringat jelas, namun yang pasti, kata itu diulang lebih dari tiga kali dengan tambahan lahir dalam durasi 20 menit.

Derap langkah yang tergesa, isakan bercampur doa, demi apapun Riza tidak pernah menyukai situasi seperti ini. Namun, bukan berarti dia membencinya.

Lelaki itu belajar banyak hal dari adiknya-Khadijah-Didi, bahwasannya, segenting apapun keadaan di sekitarnya, dia harus tetap tenang. Karena segala sesuatu, apalagi dalam bab genting seperti ini, orang harus mengedepankan nalar dan ilmu pengetahuan yang mereka miliki. Menangis tanpa berbuat apa-apa sama saja membunuh Dinda secara cuma-cuma.

Go Went GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang