42. Better than

2.1K 175 34
                                    

Untuk kedua kalinya Vicky datang berkunjung di kediaman Dinda. Dia mau meminta maaf. Ya, memangnya mau apa lagi? Selalu seperti itu kan penyesalan anak manusia? Ketika sudah terlanjur berantakan, baru datang memohon maaf. Entah tertutup apa mata hatinya selama ini. Masih untung Aldi tidak pernah tahu kalau adiknya dikatai habis-habisan oleh Vicky. Karena kalau lelaki itu sampai tahu, bukan jalur hukum lagi yang akan Aldi tempuh, tapi semua jalur akan dia tempuh untuk mendapatkan keadilan bagi adiknya, termasuk jalur langit sekalipun.

Baiklah, menurut sebagian orang, Aldi memang berlebihan. Namun menurut dirinya sendiri, Aldi melakukan sesuatu yang benar. Bahkan sangat-sangat benar. Jadi, mau orang menasihati kalau perbuatannya masuk ketegori tidak benar sekalipun, Aldi tidak peduli dan tidak mau tahu. Yang dia pedulikan hanyalah Dinda dan keluarganya.

Seperti sekarang ini, Dinda yang sudah pindah di lantai bawah ingin menemui Vicky dan Adit yang datang bertamu. Namun, Aldi melarangnya dengan alasan nanti kelelahan karena kemarin Dinda harus didatangkan perawat dari rumah sakit karena butuh tambahan air. Dan hari ini keadaannya sudah jauh lebih baik. Karena itu Dinda tidak ingin menyia-nyiakan waktunya hanya untuk rebahan di ranjang yang malah membuat tubuhnya terasa semakin sakit, terutama pernapasannya yang semakin berat dari hari ke hari.

"Mau jalan Kak Aldi! Aku kan nggak lumpuh, kenapa harus di kursi roda terus?"

Aldi menatap Dinda nanar karena adiknya ini terus protes tidak mau diperlakukan ini dan itu. Tapi memang ini yang terbaik di saat kedua kaki Dinda bengkak, dari tumit sampai ke atas pergelangan kaki, ada cairan yang menumpuk di sana, pun di tangan Dinda yang jadi agak besar-besar seperti habis disengat lebah. Tidak seharusnya Dinda berjalan sesuka hati ataupun bekerja yang tidak seharusnya dengan keadaannya yang seperti itu. Bahkan dokter sudah terang-terangan memintanya bedrest, bukan jalan-jalan meski hanya bolak-balik dari satu ruangan ke ruangan lain yang ada di dalam rumah sekalipun.

Bagaimana kalau jatuh? Berjalan dari dapur ke kamar bawah saja perempuan itu terengah-tengah seperti habis lari marathon. Bagaimana bisa Aldi membiarkan Dinda berjalan di atas kakinya sendiri kalau keadaannya seperti itu?

Tidak bisa. Aldi tidak akan bisa. Dia rela menjadi kaki ataupun tangan Dinda di saat adik kecilnya itu tidak mampu lagi menggunakan alat geraknya sebagaimana mestinya.

"Pilihannya cuma dua. Pakai kursi roda, apa kakak gendong? Kaki kamu tuh! Lihat! Nanti kalau kenapa-kenapa gimana? Disuruh nurut sehari aja nggak bisa? Bandel banget."

Dinda menunduk sedih menatap kakinya yang besar-besar, kemudian menatap Aldi yang menatap masam ke arahnya. "Ya udah, deh. Boleh bicara sama mereka tapi, ya?"

"Iyaaa."

"Ya udah dorongin." Dinda malah balik memerintah kakak laki-lakinya itu. Siapa suruh memanjakannya sampai seperti ini.

Meskipun dengan berat hati, Aldi tetap membawa Dinda ke ruang tamu dimana Rina sudah menyambut kedua lelaki itu lebih dulu. Di saat Adit tersenyum begitu senang, Vicky terlihat sungkan melihat ke arah Dinda. Padahal, sebelum berangkat tadi, Vicky sudah briefing mau minta maaf secara baik dan benar kepada Dinda itu bagaimana.

"Ini orangnya sudah datang, tante tinggal dulu, ya. Makanan dan minumannya jangan lupa dihabiskan." Rina yang semula duduk lekas berdiri, berjalan menghampiri Aldi ketika Dinda sampai diantarkan, lantas mengapit tangan putranya itu, membawanya pergi-lebih tepatnya menyeretnya paksa dari sana.

"Apasih Tan, aku mau jagain Dinda. Nanti dia kalo butuh sesuatu gimana?" Aldi masih sempat-sempatnya menoleh dimana adiknya berada. Padahal Dinda juga tidak pergi kemanapun. Lelaki itu tidak tenang saja meninggalkan Dinda dengan orang yang jelas-jelas tidak dipercayainya sama sekali. Bagi Aldi, teman-teman Riza sama saja bobroknya dengan pecundang itu. Tidak ada yang bisa dipilih.

Go Went GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang