45. No Words

2.2K 186 16
                                    

Genap dua minggu Dinda dirawat di rumah sakit sejak insiden perdarahan itu. Bagaimana juga Dinda pulang kalau sesak napasnya makin menjadi-jadi. Memang perdarahannya sudah berhenti di hari kedua, tapi bukan berarti keadaannya dapat dikatakan aman begitu saja. Semua tim dokter yang menanganinya sepakat memutuskan untuk Dinda dirawat, bukan rawat jalan seperti yang sebelum-sebelumnya.

Dari pihak Dinda sendiri, sebenarnya mereka kurang setuju Dinda di opname karena perempuan itu lebih tertekan berada di rumah sakit. Hanya saja, pilihan terbaik memang tetap menemani Dinda di rumah sakit. Biar kalau ada apa-apa, bisa mendapatkan penangan dengan cepat. Mereka jelas tidak ingin mengambil risiko sekecil apapun.

"Kenapa, Nak? Tidurnya gelisah dari tadi. Kenceng lagi, ya?" Rina mengusap-usap punggung Dinda yang kebetulan sedang miring ke kiri.

Perempuan itu tidak merespon, dia hanya mewek menahan tangis, terbangun dari tidurnya yang baru saja terasa lelap setelah mengkhawatirkan banyak hal.

"Cerita sama mama, kenapa?" tanya Rina lagi, masih khas dengan suaranya yang lemah lembut.

"Aku boleh minum obat tidur nggak, Ma? Aku mau tidur."

"Nggak boleh, Nak. Bahaya. Tadi kan sudah tidur, kenapa bangun lagi?"

Ada rengekan kecil yang terdengar karena Dinda sungguh kesal dengan semua yang terjadi. "Aku lihat Riza dimana-mana. Aku kesel. Mau marah." Adunya.

Apakah empat bulan yang Dinda habiskan untuk menunggu akan berakhir sia-sia? Kapan juga lelaki itu pulang. Bahkan Milli yang sudah dihubungi Gaga berulang kali juga tidak ada tanda-tanda akan datang.

"Kangen, ya? Nggak papa." Rina mengusap punggung Dinda makin intens agar anak perempuannya ini kembali tenang. "Mama telfonkan Kak Milli ya, di sana masih pagi."

"Nggak mau." Dinda malah menangis sampai terisak-isak-yang tentu saja membuat Rina khawatir. "Mau marah Ma..."

"Marah saja, mama dengarkan."

"Aku kayak orang mau mati." Katanya kesal.

"Hush, nggak boleh ngomong kayak gitu." Rina jelas langsung menegur mendengar putrinya berbicara seperti itu. Jantungnya sendiri pun seperti memompa aliran darah tidak normal hingga menyebakan detak jantungnya lebih cepat dari yang seharusnya. "Nggak boleh pikiran kayak gitu, Nak. Pasti sembuh, pasti sehat lagi. Adeknya juga kuat. Yang positif pikirannya, ya. Jangan bicara kayak gitu lagi."

Dinda tetap saja mewek menahan tangis meskipun sudah ditenangkan sedemian rupa. "Mau ditungguin sama Papa, Ma..."

Ya Allah...

Rina mencelos kalau putrinya sudah memanggil papanya. Karena dulu pun, Rara waktu hamil Alan selalu menangis minta ditunggui papanya sementara semua orang tahu kalau papanya sudah meninggal.

"Ditungguin sama mama dulu ya, Nak. Nanti mama telfonkan Kak Aldi, dia sama Qilla dulu, lagi kurang enak badan."

"Mama pulang aja bantu Kak Aldi. Aku mau di sini sendiri." Dinda langsung balik badan, mengusir secara halus. Sok-sokan pula tidak apa-apa ditinggalkan sendiri. Sementara bagaimana mau ditinggal sendiri, orang ditunggui saja Dinda menangis seperti ini.

"Nak, nggak boleh kayak gini." Rina sampai beralih berdiri di sisi putrinya, berupaya berbicara lagi. "Kenapa, cerita sama mama."

Ada tangis yang terdengar-baru setelahnya Dinda bersedia untuk menjawab.

"Ya Allah, Nak?"

"Hkk, nggak mau gerak, Ma..."

"Tadi kan kamu tidur, tau darimana nggak mau gerak?"

Go Went GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang