Dinda tidak tahu dan tidak mau tahu Riza dimana, dengan siapa dan sedang apa. Cukup saat lelaki itu pergi yang membuatnya tidak bisa tertidur sampai pagi. Bahkan pagi hari setelahnya karena Riza tidak pulang. Pun tidak ada kabar sama sekali. Lelaki itu benar menepati perkataannya.
Dinda harus tahu, Riza adalah lelaki yang terkenal loyal di antara teman-temannya. Apa yang orang terdekatnya minta dan dia bisa memenuhi, maka akan lelaki itu penuhi. Seperti Dinda yang malamnya meminta dirinya jangan kembali, maka itu yang akan terjadi. Padahal, kalau Riza mau memahami, apa yang Dinda katakan adalah kebalikannya. Meminta Riza pergi sama saja mencegahnya untuk tidak pergi. Namun sayangnya, Riza tidak sepeka itu hingga benar-benar meninggalkan Dinda di malam yang begitu dingin.
Baiklah, diam-dimanan memang hanya akan memperkeruh suasana. Dinda juga tahu betul tentang itu. Hanya saja, biasanya Riza akan berbicara padanya lebih dulu. Apakah karena jawabannya kemarin Riza betulan marah padanya? Padahal Dinda menjawab apa adanya. Dia mendiami Riza karena memang kesal pada lelaki itu, tapi kalau marah, Dinda lebih marah pada dirinya sendiri.
Sekarang Dinda paham, dia memang tidak tahu apa-apa tentang Riza. Namun, Riza juga harus tahu kalau lelaki itu juga tidak tahu apa-apa tentangnya. Jadi Dinda membenarkan dirinya sendiri.
Membatin semua kegundahan hatinya sendiri, Dinda pergi bekerja dengan tidak bersemangat. Oh ayolah, memangnya ada hati istri yang tenang ketika marahan dengan sang suami? Tapi tunggu? Apakah malam itu bisa dikatakan sebagai marah-marahan?
For God's sake, tiba-tiba saja wajah dingin Riza muncul di benak Dinda hingga membuat kepala perempuan itu pening bukan main.
Tuhan... Kenapa dia harus jatuh cinta dengan seorang lelaki bernama Riza Sidharta? Seorang duda kaya raya tanpa anak yang mungkin memang tidak pernah mencintai dirinya seperti yang Dinda rasakan. Mungkin saking cintanya, dengan senang hati Dinda akan menyerahkan nyawanya begitu saja demi lelaki itu. Namun sayangnya, Riza seperti tidak bisa melihat. Dia sibuk dengan urusan hatinya sendiri, mengabaikan Dinda yang jelas-jelas tanggungjawabnya.
Dinda pernah mencintai orang lain sebelum Riza. Riza juga bukan cinta pertamanya. Tapi kenapa harus sesulit ini kalau berurusan dengan lelaki itu? Dinda ingin sekali mengklaim lelaki itu sebagai miliknya. Benar-benar miliknya. Tapi kenapa tidak bisa? Ada tembok kukuh sekali hingga sekali tabrak, bukan temboknya yang runtuh, tapi Dinda yang hancur berkeping-keping.
Kenapa rasa cintanya harus sebesar ini kepada lelaki itu? Dia tidak mungkin menyalahkan Tuhan untuk rasa cintanya, kan? Jangankan orang lain, orang terdekatnya pun, yang sebenarnya atau mungkin sudah tahu ada yang tidak beres dengan pernikahan mereka sering kali mengingatkan Dinda untuk tidak jatuh terlalu dalam. Tapi apalah daya? Cintanya terlalu besar dibandingkan rasa cemburunya. Dinda seakan memaklumi apapun yang Riza lakukan meski terkadang dia tegur dengan ucapan pelan.
Ya, soal perceraian yang dia ajukan beberapa tahun silam memang keputusannya sendiri. Berhari-hari dia menangis, apalagi setiap malam. Sampai berat badannya turun drastis. Yang dia tangisi tidak pernah berubah. Penyesalan dan penyesalan. Apalagi melihat Riza tertidur lelap di sebelahnya seperti malaikat yang tidak memiliki dosa, kian jatuh air matanya. Semua bagian tubuhnya seakan merasakan sakit yang teramat sangat. Jiwa, raga, semuanya kesakitan.
Ada banyak ketakutan yang tidak bisa Dinda ungkapkan. Bagaimana kalau Riza pergi meninggalkannya dengan perempuan lain? Bagaimana kalau lelaki itu bahagia dengan perempuan lain sementara dia akan tersiksa sendirian? Tidak. Dinda tidak mau. Dia tidak akan siap menanggung semuanya sendiri. Akan lebih baik Riza selalu bersamanya, pikirnya. Meskipun kenyataannya, Dinda tahu tidak ada namanya di hati Riza. Lelaki itu tidak pernah memandangnya penuh cinta seperti yang selalu dia lakukan dengan Mitha. Lelaki itu juga tidak pernah memandangnya dengan senyuman konstan seperti saat dirinya tersenyum kepada Hana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Go Went Gone
RomanceALUR LAMBAT, TIDAK JELAS, BERTELE-TELE. SO, JANGAN DIBACA [SEQUEL OF HUMAN DISEASE] You are going to live as long as you can. So, let's live a thousand years again. *** Any similarities of characters, times, places and events, unintentional. Image...