Sebagai sahabat yang baik, saking baiknya malah, Rani tetap berbicara sopan pada Riza saat Subuh lelaki itu keluar unit. Ya mungkin karena terpaksa bertata krama kepada yang lebih tua. Atau memang dasarnya adab lebih tinggi daripada ilmunya. Dan Riza menghargai itu.
"Pak?" Rani memanggil.
Riza menoleh, menghentikan langkahnya sebentar.
"Dokter Maher bagaimana?"
"Saya sudah punya kontaknya."
Rani hanya ber-oh ria. Ah dia mendadak lupa ingatan. Riza pasti gerak cepat sendiri apalagi Dokter Maher kerabatnya.
"Saya pergi dulu." Pamit Riza kemudian.
"Eh, tunggu, Pak!" Rani memanggil Riza cepat-cepat.
Lelaki itu menoleh tapi tidak mengatakan apa-apa.
"Saya harus apa setelah Bapak pergi?"
"Minta dia sarapan. Jangan dikasih makan mie. Jangan dipaksa minum obat penenang atau apapun. Kalau dia ingin tidur lagi, biarkan saja. Sembunyikan mie-nya."
"Hanya itu?"
"Temani jika ingin pergi. Jangan ditinggal sendirian. Lanjutkan pengobatan tangannya dengan obat spray. Nanti akan ada orang ke sini."
Rani memejamkan matanya dalam-dalam saat Riza kembali berlalu. "Pak tunggu!" panggilnya lagi.
Seperti kejadian berulang, Riza kembali berhenti.
"Tidak bisakah Bapak saja yang menemani Dinda? Bapak tidak lihat apa yang Dinda lakukan? She hurts herself. Bapak masih mau meninggalkannya?"
"She will only cry if I stay here." Balas Riza pelan tanpa ekspresi yang berarti.
"Bukankah sudah kewajiban Bapak untuk membuatnya berhenti menangis? Kenapa membiarkan teman saya seperti ini? Dia sangat disayangi lhoh Pak, sama keluarganya. Apa memang seperti ini cara kalian memperlakukan kami?"
"Dia tidak boleh bergantung pada saya."
"Terus menurut Bapak, Dinda harus bergantung sama siapa?"
"Not to anyone, not even to herself."
Rani tersenyum sarkas. Dia akui jawaban Riza sangat bijak sekali. Sangat-sangat bijak sekali! Tapi Rani rasa Riza terlalu keras kalau langsung mentreat Dinda demikian.
"Bapak nggak salah bicara? Ini Dinda, teman saya lhoh, Pak? Bukan istri lain Bapak yang mungkin akhlaknya lebih baik dari teman saya. Bapak nggak bisa pukul rata, dong!"
"..."
"Teman saya dulu sehat, Pak. Dia sudah sembuh!" Rani menekankan. "Kenapa dibikin sakit? Bapak nggak tahu kalau bikin itu anak sadar susahnya minta ampun!"
"She hurts herself."
"No! Bapak yang nyumbang rasa sakitnya. Jangan nyalahin temen saya kayak temen-temen Bapak ngatain Dinda seenaknya, Pak! Bapak harusnya ngaca! Kurang apa Dinda sampai diduakan sama sekretaris yang diambil dari rumah bordil!"
"Jaga bicara kamu!" Riza langsung menatap Rani tajam dengan mata memerah. "Jangan bawa-bawa Hana."
"Emang kenyataannya gitu, kan?! Kerjaannya nemplok kayak laler." Rani memutar bola matanya tidak peduli.
"Saya minta baik-baik sama kamu, salahkan saja saya, jangan bawa-bawa Hana." Riza menegaskan.
"Dih, dibelain!" Rani memasang wajah meremehkan sekali. "Basi Pak. Temen saya noh jadi korban."
"Silakan bicara dengan pengacara saya."
Riza langsung berlalu pergi dengan langkah cepat. Rani belum puas, masih banyak yang ingin dia katakan. Namun baru dua langkah, ada dua orang berpakaian serba hitam menghampiri Riza. Mereka berbincang layaknya memikirkan negara saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Go Went Gone
RomanceALUR LAMBAT, TIDAK JELAS, BERTELE-TELE. SO, JANGAN DIBACA [SEQUEL OF HUMAN DISEASE] You are going to live as long as you can. So, let's live a thousand years again. *** Any similarities of characters, times, places and events, unintentional. Image...