[2] Mimpi dan Deja vu

109 16 101
                                    

2 | Mimpi dan Deja vu

Akhir pekan telah berlalu tanpa kericuhan. Setelah Bella mengobati Ara, ia mengembalikan segala sesuatu pada keadaan semula. Pintu ruang hukuman dikunci, kotak P3K ditaruh kembali di kamarnya, dan kunci ruangan itu dikembalikan pada gantungan di kamar ibunya. Perjalanannya ke sekolah tak memakan waktu lama karena lalu lintas sedang lancar. Kembali ke tempat duduknya di kelas, tak ada yang mempertanyakan ketidakhadirannya selama beberapa jam.

Matahari baru hendak terbenam ketika ibunya datang. Seperti biasa, ibunya akan memasang wajah termanis saat berhadapan dengannya. Bella benar-benar tidak bisa menerima bahwa perilaku sang ibu padanya dan kakak kembarnya bisa bertolak belakang. Ibunya sempat menjadi orang nomor satu dalam hidupnya. Ibunya adalah orang yang sangat bersinar, selalu tersenyum, dan ceria. Tentunya Bella sangat terkejut ketika menyadari perlakuan wanita itu pada Ara. Awalnya, ibunya mencoba menyembunyikan kekerasan yang ia lakukan pada Ara. Namun setelah Bella menyadari yang terjadi, tak ada gunanya untuk menutupinya lagi.

Rasa sayang itu berkurang, memberi ruang bagi kebencian untuk hadir. Tapi ia tahu betul, sejahat apapun sang ibu pada kakak kembarnya, ia tetaplah orang yang melahirkan mereka ke dunia. Sebenci apapun dirinya, mereka harus tetap menyayangi dan menghormatinya. Karena itulah, ia berusaha menutup mata terhadap perlakuan orangtuanya pada Ara.

Sering ia berpikir bagaimana membebaskan diri dari keluarga ini tanpa melukai perasaan orangtuanya. Membebaskan diri dengan membawa Ara bersamanya mungkin menjadi akhir yang bahagia bagi mereka. Karena itulah, ketika Ara bertanya apakah ia mau kabur dari rumah ini, ia mengusulkan untuk lulus SMA terlebih dahulu agar kepergian mereka terasa wajar.

Kembali ke waktu sekarang, Bella sedang berjalan dengan payung di tangannya. Akhir pekan benar-benar berlalu dengan cepat. Senin kembali menjadi mimpi buruk para murid. Bahkan langit pun sedang merajuk karena berakhirnya akhir pekan. Rintik hujan menetes sedikit demi sedikit. Untunglah hanya gerimis. Ara dan Bella yang kehabisan uang jajan bisa berjalan kaki menuju sekolah, meski percikan air masih mengenai ketika mereka telah memegang payung.

"Masih?" tanya Bella, merujuk pada luka di tangan Ara yang tertutup hoodie berwarna hitam.

Ara mengangguk sambil menggigit rotinya. "Dikit lagi sembuh."

"Oh, ya. Tadi malem gue mimpi kita pas masih kecil. Kita mandi hujan bareng. Trus di mimpi gue mama baik banget. Mama pakein kita jas hujan terus keringin rambut kita pas udah selesai main," cerita Bella penuh semangat.

Ara mendengus tidak tertarik. "Mimpi konyol," pikirnya, "Mimpi emang nggak jelasin apa-apa. Tapi masa, dulu mama pernah baik?"

🌫🌫🌫

Deretan meja panjang beserta kursi mengisi sebuah ruangan besar. Di sisi yang satu terdapat barisan counter beserta daftar makanan minuman dan harganya. Sisi lainnya menghadap langsung ke taman sekolah. Kantin memang tempat yang paling nyaman untuk dihinggapi ketika tak ada jam pelajaran. Bahkan saat guru mengajar pun, banyak orang yang memilih kantin daripada ruang kelas.

Bangun kepagian membawa seorang lelaki bernama Ervin ke sekolah. Pukul 6 adalah saat terakhir ia melihat jam. Itu berarti masih ada satu jam sampai bel sekolah berdering. Bosan adalah ungkapan yang wajar untuknya sekarang. Menatap ponsel sangat menjemukan. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan untuk mengusir kebosanan. Ibu kantin belum menjual dagangannya. Kantin masih lengang. Seluruh kursi tak ditempati siapapun kecuali bangku yang didudukinya.

Disematkan earphone pada kedua telinganya. Lagu mulai mengalun pelan pada dirinya yang bosan. Lambat laun, ia terbenam dalam lamunan, menatap lapangan upacara tanpa berkedip. Dirinya hanya bosan, bukan mengantuk. Bagi orang yang terbangun tanpa bantuan teriakan atau alarm, artinya tubuh sedang dalam kondisi segar-segarnya.

AraBella [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang