6 | Masa Kecil
Suasana khas rumah sakit tertangkap netra Bella. Ia menatap guru UKS yang menanyakan ke mana Ara sebaiknya dibawa. Barulah setelah itu mereka berjalan menuju UGD sambil dibimbing seorang suster. Beberapa garis dengan warna hijau, kuning, merah, dan hitam menarik perhatiannya. Sejak kecil, ia tidak pernah dibawa ke rumah sakit karena tubuhnya yang sangat sehat. Tentu saja ia pernah mengalami demam, batuk, dan penyakit lainnya. Namun ibunya selalu memanggil dokter pribadi dan bukan membawanya ke rumah sakit.
"Ini warna apaan?" tanya Bella pada Clara.
Clara mengangkat bahunya.
"Namanya triage. Buat misah-misahin pasien UGD sesuai kondisinya. Untung kondisi Ara nggak terlalu parah," jawab guru UKS sambil menunjuk garis berwarna hijau yang mengarahkan mereka ke ruangan untuk pasien kategori tidak mendesak.
Ara dibaringkan ke sebuah ranjang.
Seorang dokter jaga mengecek tangan dan kaki Ara yang terinfeksi, serta wajah Ara yang sedikit membengkak. Temperatur tubuh Ara diukur oleh seorang perawat.
"38 derajat," katanya.
"Ah, ini udah sepsis. Luka yang dialami pasien tidak ditangani dengan segera, jadi ada banyak bakteri di aliran darah yang menyebabkan infeksi ke mana-mana. Salah satu gejalanya adalah demam."
"Dia gapapa, kan, Dok?"
"Tidak apa-apa. Ini belum tergolong kasus parah. Kalau parah bisa menyebabkan kematian," jelas dokter jaga, "ini saya kasih resepnya. Nanti silakan ambil di farmasi, ya. Antibiotik diminum 2 kali sehari selama 5 hari dan salep dioleskan rutin sampai sembuh."
Guru UKS mengambil resep yang dituliskan dan mengucapkan terima kasih. "Nak, Ibu ambil obatnya dulu, ya. Kalian tetap di sini aja," ucapnya yang ditanggapi dengan anggukan kepala.
Bella menatap Ara yang belum sadar. Ia kemudian beralih pada Clara dan Ervin yang juga berdiri di dekat ranjang Ara. "Yang hari ini kalian lihat ... jangan kasih tahu siapa-siapa, ya." Bella takut apabila muncul pembicaraan di sekolah tentang luka Ara, Rum, mata-mata ibunya, akan melaporkannya pada sang ibu. Entah apa yang dapat dilakukan wanita itu selanjutnya.
"Tenang aja," jawab Clara sambil tersenyum.
Kringg
Ervin merogoh sakunya dan meraih ponselnya yang berdering. "Gue keluar bentar, ya. Ada telpon."
Bella dan Clara mengangguk.
"Sana pergi," usir Clara dengan nada bercanda.
"Ah, omong-omong ... tadi pas gue ke kelas mereka gosipin Ara lagi. Sumpah, gue kesel banget," curhat Clara pada Bella.
"Iya, padahal Kak Ara pengin dapet temen baru di SMA ini. Waktu SMP kami selalu bareng. Jadi karena di masa SMA ini kami beda jurusan, dia punya kesulitan bergaul. Untung ada lo," ujar Bella.
"Yang hajar Ara sampai segitunya ... gue boleh tahu siapa?"
"Mama kami."
"Hah, lo juga diginiin?"
Bella menggeleng. "Cuma Ara. Gue juga nggak tahu kenapa."
"Udah lama dia digituin?"
"Sejak SMP ... atau SD, ya? Pokoknya udah lama banget," keluh Bella.
Clara menarik sebuah kursi di dekatnya dan duduk. "Gue kagum sama Ara. Bisa-bisanya dia tahan di sana. Kalau gue, udah bakal kabur dari rumah. Ara nggak kepikiran mau kabur?"
"Ah, tentang itu ... gue lagi nyari tempat tinggal sementara buat Kak Ara. Cuma nggak tahu kenapa, mahal banget. Duit yang gue tabung juga nggak sebanyak itu untuk biayain. Kami juga belum kerja." Bella mendesah kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
AraBella [END]
Teen FictionAra dan Bella, kembar identik yang diperlakuan berbeda oleh kedua orangtuanya. Seorang menjadi kambing hitam dalam keluarga, seorang lagi menjadi anak emas. Apa alasannya? Sampai sekarang pun kedua gadis itu masih bertanya-tanya. Cerita ini diikutse...