20 | Terlalu Banyak Tahu
Hawa dingin menusuk kulit Bella, membangunkannya dari efek obat tidur. Tubuh bergetar hebat usai sepenuhnya terbangun. Mata mengerjap hingga akhirnya perlahan terbuka. Kepala berputar mengelilingi ruangan kecil tempatnya berada.
Nggak ada Tiffany, desahnya penuh rasa syukur..
Bau obat anestesi menjadi hal yang menyakinkan Bella kalau ia tak lagi berada di rumahnya. Sebuah meja dilengkapi dengan peralatan medis untuk operasi berada di tengah ruangan.
Rumah sakit? Tepatnya ruang operasi. Kenapa tiba-tiba gue ada di sini? Bella meregangkan kaki yang kesemutan dan mencoba mendekati pintu keluar. Melalui kaca pada pintu, Bella dapat melihat tiga orang sedang bercakap-cakap di depannya. Dua di antara mereka jelas dikenal Bella, namun seorang lagi, yang mengenakan jubah berwarna hijau dan topi operasi, sama sekali tak pernah dilihatnya.
Bella berjongkok, daun telinga ditempelkan pada pintu. Sayup-sayup terdengar suara percakapan mereka.
"Belum ada permintaan dari pihak sana," ujar Mirza.
"Berarti belum bisa. Organ cuma bisa disimpan beberapa jam. Lebih dari itu, nggak bisa ditransplantasi."
"Tapi dia nggak bisa dibiarin hidup."
Suara berat pria itu membuat bulu kuduk Bella berdiri. Dulu terasa begitu hangat, namun sekarang sudah sangat berbeda. Besar kemungkinan ia memang sedingin ini, tapi berubah ketika berbicara dengan orang yang disayanginya.
"Yaudah, bunuh aja. Daripada saya operasi susah payah tapi sia-sia, mending langsung habisin aja."
"Boleh?" potong Tiffany. Nada suaranya terdengar begitu gembira, seakan menunggu kalimat itu diucapkan."
Pipi Bella berdenyut pelan mengingat wanita gila itu. Bella mengusap rahangnya dengan penuh kelembutan, seakan hendak berterima kasih sudah bertahan, belum retak oleh hantaman Tiffany.
"Jangan," sergah Mirza, "Kalau dipikir lagi, itu nggak ada untungnya buat kita."
Tiffany mendecih namun tetap mengangguk.
Baru hendak kembali ke tempat ia terbangun tadi, pintu ruangan telah terbuka lebar. Tak sempat bergerak, dahinya telah terantuk. Otomatis meringis sambil memegangi dahi yang membengkak, keberadaan gadis itu diketahui Tiffany.
"Sudah bangun ternyata." Tersenyum lebar wanita itu berjongkok di hadapan Bella. Mengusap dahi Bella yang membentuk benjolan seraya meniupnya pelan. "Masih sakit?"
Bella tak tahu apa yang harus diperbuat. Membiarkan wanita gila itu bersimpati membuatnya semakin merinding. Menyingkirkan tangan Tiffany dari dahi akan membuatnya murka. Lantas ia hanya diam mematung, menatap ke segala arah secara bergantian kecuali sosok wanita di hadapannya.
"Diam banget. Kenapa, Nak? Takut sama Mama?" Tiffany terkekeh. Tangannya memainkan benjolan di dahi Bella. "Jangan takut, dong. Ah, jangan-jangan kamu denger percakapan tadi? Itu bercanda aja."
Tiffany menggandeng lengan Bella, berjalan mendekati kursi di pinggir ruangan. "Duduk di sini."
Ragu menghampiri. Tak yakin apa yang sedang dipikirkan Tiffany.
Tiffany menendang bagian belakang lutut Bella, membuatnya kehilangan keseimbangan dan terjatuh.
"Kan, sudah Mama suruh duduk," geramnya. Senyum itu luput.
Mirza menyahut dari daun pintu, "Tif, jangan sampai mati."
Wanita itu mengangguk. "Coba tebak. Kenapa kamu nggak boleh mati?"
KAMU SEDANG MEMBACA
AraBella [END]
Teen FictionAra dan Bella, kembar identik yang diperlakuan berbeda oleh kedua orangtuanya. Seorang menjadi kambing hitam dalam keluarga, seorang lagi menjadi anak emas. Apa alasannya? Sampai sekarang pun kedua gadis itu masih bertanya-tanya. Cerita ini diikutse...