[22] Sekeping Kenangan

22 2 0
                                    

22 | Sekeping Kenangan

Sebulan telah berlalu semenjak Bella dilarikan ke rumah sakit pada malam itu. Pendarahan pada kepala. Kedua kaki yang dihajar habis-habisan hingga retak. Terbuka segaris luka memanjang pada tangan kiri Bella, terkena paku pada kayu yang diayunkan Tiffany. Mujur nasibnya, jalanan begitu lancar. Sesuatu yang jarang terjadi. Inilah alasan nyawanya tertolong, dapat ditangani dengan begitu cepat. Walau begitu, ia belum diperbolehkan pergi dari rumah sakit.

Berjalan santai mengayunkan pelan sebungkus makanan. Ara menekan tombol pada lift untuk membukanya. Bersenandung kecil sambil menyandarkan tubuh pada sudut ruangan kecil itu, menunggu lift mencapai lantai lima. Begitu suara berdenting terdengar, ia menegakkan tubuh dan berjalan menuju ruangan Bella.

Secercah sinar menembus celah tirai yang tertutup rapat. Ara menarik kain itu hingga tak ada satupun cahaya yang masuk. Di tempat tidur, terbaring Bella yang tersenyum tipis melihat aksi kakak Kembarnya.

"Lo mau bobok?"

Bella mengangguk pelan.

"Padahal gue baru ambil delivery-nya."

Bella tersenyum simpul, "Buat nanti aja. Gue tiba-tiba nggak nafsu makan."

Menaruh bungkus berisi makanan di meja bundar di pojok ruangan. Ara menarik sebuah kursi mendekati sisi kanan tempat tidur Bella. Menepuk lengan kanan Bella yang tak terluka, ia menatap Bella yang lamat-lamat menutup mata.

Kejadian malam itu membuatnya tak bisa tidur sama sekali di dalam gelap. Namun ia tak bisa menyalakan lampu ataupun terkena sinar matahari. Trauma membuatnya tak mampu tidur dengan lelap, apalagi ditambah dengan paparan cahaya yang menganggu. Kepala seringkali berputar dan berdenyut hebat, serta rasa mual yang ikut menghampiri. Cara terbaik bagi Bella, hanyalah tidur dengan tepukan Ara.

Mata Ara menatap wajah adik kembarnya nanar. Bengkak dari sebulan lalu di muka telah menghilang. Sobekan pada sudut bibir dan goresan pada pipi telah sembuh. Walau Bella terkadang masih meringis sakit ketika mengunyah, paling tidak kondisinya sudah lebih baik.

Luka terbesar terletak pada kepala Bella. Menurut pemaparan ayah Clara, ia dihantam berkali-kali dengan kayu. Tak lupa, paku di ujung kayu disebut, membuat Ara menangis deras.

Timing yang tepat membuat Bella selamat. Walau mengeluarkan banyak darah, kepalanya tak sampai mengalami pendarahan otak. Ketika dihajar Tiffany, Bella berusaha keras melindungi bagian kepalanya. Ia berbaring menyamping, meringkuk dengan sisi kiri terekspos, membuat wanita itu bisa menghajar tangan kiri.

Ara beralih pada tangan kiri Bella yang terbalut gips. Sampai sekarang, Bella masih tak berani menggerakkan otot tangan kirinya. Rasa sakit selalu menyambar seluruh tubuh ketika ia mengubah posisi tangan. Kalaupun terpaksa digerakkan, gerakan kecil yang akan dibuat, digerakkan perlahan.

Tiap kali Bella meringis atau menangis kesakitan, Ara ikut meneteskan air mata. Setiap rintihan yang dibuat Bella dalam alam bawah sadar membuat Ara ikut membayangkan perasaan Bella ketika berada di tempat itu. Trauma yang terus muncul selama sebulan belakangan menandakan betapa tersiksanya gadis itu.

"Ergh."

Tangan Ara langsung bergerak menuju perut Bella, menepuknya dengan lembut. "Gapapa. Lo udah aman sekarang. Bobok lagi, sana."

Gerakan repetitif mendatangkan rasa kantuk. Perlahan kepala Ara dijatuhkan, menjadikan kedua lengannya sebagai bantal.

🌫🌫🌫

"Ara."

Suara lembut menyapa telinga. Asing. Di sisi lain, dada Ara sesak bagai merindukan sesuatu.

AraBella [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang