[5] Kunci di Bawah Bintang

80 11 76
                                    

5 | Kunci di Bawah Bintang

Bunyi piring yang bersenggolan serta suara air memenuhi dapur. Ara membilas peralatan makan yang telah diselimuti sabun cuci piring. Satu hari telah berlalu semenjak ia tertidur di luar gerbang. Ekspresi keterkejutan Bella masih membekas di ingatannya.

"Kak, yang gue omongin waktu itu, supaya kita lulus SMA baru pergi dari rumah ini, anggap aja nggak pernah dengar. Kita pergi sekarang. Bodo amat sama perasaan Mama. Kalo dia sakit hati, ya, apa peduli gue?" Bella menggemeretakkan giginya.

"Beneran?"

"Iya, terus uang yang Mama kasih selalu gue tabung, jadi bisa kita pakai untuk ini."

"Coba lo tanya baik-baik dulu ke Mama. Minta izin, boleh nggak tinggal di tempat lain. Soalnya kalo lo tiba-tiba ngilang, dia bakal langsung histeris dan nyari lo."

Bella mengacak rambutnya kesal. "Kenapa dia cuma baik ke gue, sih? Kalo dia baik ke kita berdua, kan, kita nggak usah pergi."

Ara tertawa miris.

"Gini aja, Kak. Kalo gue pergi dari rumah ini, otomatis Mama bakal nyari gue dan nyalahin lo. Jadi lo nggak usah keras kepala, lo pergi aja ke tempat lain. Lagian kalau lo pindah, bukannya Mama jadi seneng?"

Ara terdiam. "Jadi gapapa kalo gue ninggalin lo di sana?"

"Yang nggak diterima di rumah ini, kan, cuma lo. Selama belasan tahun gue tinggal di sana, gue nggak pernah, tuh, ngerasa kalo gue bakal kenapa-kenapa. Tapi lo nggak. Jadi, jangan buat gue tambah merasa bersalah. Lo pindah tempat aja. Lagian lo kan nggak suka di rumah ini juga."

Ara mengangguk. Perkataan Bella ada benarnya. Selama ini dia terus "menyalahkan" Bella sebagai alasan ia terus bertahan di rumah itu. Tapi sebenarnya, ia pun mendambakan kasih sayang yang selama ini hanya dilihatnya dari kejauhan. Perasaan ini sama besarnya dengan kebencian yang ia miliki. Ditambah lagi, mimpi tentang masa kecil yang belakangan sering ia mimpikan menjadi salah satu harapan baginya untuk menerima perhatian itu.

"Gue bakal bantu cariin lo tempat tinggalnya. Secepatnya bakal gue kabarin."

Percakapan sore itu berakhir sampai di sana.

Ara mematikan keran air dan mengembuskan napas pelan. Kedua tangannya menopang tubuh di pinggiran bak cuci piring. Ponsel yang terletak di dekat Ara memunculkan sebuah notifikasi.

Bella
Kak,
Kerja kelompoknya lebih lama dari yang gue kira.
Sejam lagi.
Kira-kira jam 6 baru nyampe rumah.
Gapapa, kan?
Nggak ada Mama di rumah, kan?
Lo nggak diusir ke luar lagi, kan?

Ara tertawa kecil sambil membalas pesan itu.

Ara
Gapapa
Lagian ini hari Rabu.
Biasanya Mama pulang agak telat.

Ponsel itu kembali diletakkan dan ia melanjutkan kegiatan mencuci piring.

Ceklek.

Jantung Ara serasa berhenti berdetak. Baru saja dibahas, orang yang dimaksud sudah berada di depan pintu.

Kriet.

Sang ibu yang terbalut pakaian formal melepas sepatu hak merah yang dikenakannya. Dengan penuh emosi, ia melempar sepatu itu ke lantai. Tas tangan yang tergantung elegan di lengannya juga ia empaskan dengan kasar.

"Keparat," gumam wanita.

Vas yang terpajang di ruang tamu ditendangnya hingga terjatuh. Suara keramik yang menghantam lantai dapat didengar oleh Ara. Satu hal yang ia pikirkan saat ini, kabur ke kamar dan mengunci pintu.

AraBella [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang