[18] Terbongkarnya Rahasia

42 2 0
                                    

18 | Terbongkarnya Rahasia

Gendang dalam dada yang semakin cepat membuatnya sesak. Berusaha menghirup napas panjang tanpa suara, Bella menutup daerah hidung dan mulut. Ketika rasa sesak itu berkurang, ia menyandarkan kepala pada lemari. Bernapas seperti biasa sampai lupa pada debu yang memenuhi tempat itu.

Mata Bella mulai terasa gatal. Mengerjapkan mata beberapa kali, serta menggosok secara perlahan, rasa gatal itu tak kian hilang. Ditambah lagi, hidung yang sedari tadi berkedut, tak tahan dengan udara kotor di dalam lemari.

Hatchim!

Bella benar-benar membenci dirinya sendiri. Bisa-bisanya dia berpikir bisa melaporkan rahasia Mirza dan Tiffany ketika ia bahkan terciduk dengan begitu mudahnya.

Harusnya gue tahan. Bisa-bisanya kelepasan, rutuknya.

Jantung Bella berhenti, kulitnya meremang. Tahu jelas pekerjaan macam apa yang dikerjakan oleh pasangan itu, berbagai pikiran langsung menghantamnya.

Langkah kaki berderap perlahan, samar-samar dan semakin mendekat. Suara konstan yang membuat Bella semakin ketakutan. Terus mendekat hingga berhenti tepat di depan pintu lemari.

Sret.

Bella mendongak sambil gemetaran.

"Ada tikus ternyata," kekeh Tiffany, "Za, seret ke atas."

Mirza meraih rambut Bella dan menariknya bak tali kekang.

Bella tak memiliki tenaga lagi untuk berdiri, apalagi berjalan. Ketakutan benar-benar menghantuinya sekarang. Sebisa mungkin ia berusaha melepaskan tangan Mirza. Berkali-kali ia mengaduh kesakitan dan memukul lengan lelaki itu.

Namun tak peduli perlawanan apapun yang dilakukan Bella, lelaki itu terus menyeretnya. Bahkan ketika gadis itu tersungkur di lantai, tangan itu terus menjambaknya.

"Kalau dipikir-pikir, kotak yang nutupin pintu ruangan ini kegeser. Hah ...." Tiffany tertawa sinis. "Untung kamu bersin."

Bella kembali merutuki kecerobohannya. Siapapun akan sadar ada penyusup jika pintu masuk terbuka. Sebenarnya dia bisa saja berhasil lolos dari kedua orang ini. Mereka mengobrol dengan begitu asyik sampai tak menyadari kejanggalan pada pintu ke ruangan bawah tanah. Kegagalan meredakan bersin-lah yang menyebabkan semua ini terjadi.

Rambut Bella masih dipegang ketika mereka berjalan menaiki tangga. Entah berapa puluh helai rambut yang tercabut, Bella merangkak naik.

Begitu keluar dari ruangan bawah tanah, Bella mengerjap silau. Tiffany berjongkok di hadapannya, kemudian beralih pada ponsel di sebelahnya.

Menatap pergerakan itu dengan tatapan horor, Bella langsung menyambar ponsel itu terlebih dahulu. Kenapa bisa keluar dari saku? jeritnya dalam hati, Mana gue belum matiin telepon.

Secepat mungkin Bella menekan tombol merah pada ponselnya. Ia hendak menghapus call history agar orang di ujung sambungan tak bisa teridentifikasi, namun pergerakannya kalah cepat.

Mirza menendang ponsel itu dari tangan Bella.

"Heh, Ara. Kamu pikir kamu siapa bisa masuk ke tempat itu?"

Dia kira gue Ara? Oh, ya, Bella yang mereka tahu, kan, nggak melakukan hal semacam ini, batinnya.

Tiffany memungut ponsel Bella yang terbanting beberapa kali. Menatap layar lalu tergelak, wanita itu menginjak jari Bella. "Ternyata lagi nelpon Rum."

Bella meringis. Salah satu kebiasaan Tiffany adalah menggunakan sepatu hak di dalam rumah. Saking nyamannya, ia bahkan tak merasakan apa-apa jika harus berlari, melompat, atau melakukan pergerakan apapun dalam sepatu itu. Itulah yang membuatnya kini hendak menangis. Bagian tajam dari sepatu hak bagai membuat lubang di punggung tangannya.

AraBella [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang